layar yang bisu dan tanpa daya menjadi tempat yang tepat untuk tumpahkan semua. objek yang tidak akan pernah jadi subjek. tanpa komplikasi. tanpa kompromi. sesederhana itu.

Monday, July 27, 2009

250.709

Dua puluh purnama lalu kita meretas jalan baru. Jalan yang pada akhirnya membawa kita pada pintu-pintu dan jendela-jendela pilihan. Dan di sinilah kita. Berdiri di depan gerbang batas kota yang entah menuju ke mana. Semoga bahagia.

Dua puluh bulan kita mulai merajut cerita. Senang, susah, tawa, sedih. Dan kita kini: kamu, saya. Berusaha tetap berdiri tegak, berpegang tangan, meyakinkan diri kalau kita bisa.

Seperti sudah kamu buktikan sendiri, saya begitu rumit dan membingungkan. Too many skeletons in your closet, katamu. Terlalu banyak kisah mengerikan untuk dipikirkan sekaligus juga membosankan untuk dijalani. Dan kamu tetap ada. Selalu ada.

Kamu membuat saya waras. Tempat saya berpegang dan bersandar. Saya tahu, tidak mudah untukmu menghadapi dan mencerna saya. Tidak mudah bagimu untuk memutuskan dan tetap tinggal meski kamu tahu berbagai mungkin di depan. Dan di sinilah kamu, saya. Kita.

Duapuluhlimajuli hari ini, berharap kita selamanya jadi pemberani. Setia pada pilihan kata dan tindakan. Sekarang, esok dan sepanjang sisa nafas.

Thursday, July 16, 2009

Kepada Malam

Malam, saat selimut angkasamu semakin kelam, saya kembali merasa lelah, habis terkuras. Sejak sore saya mencoba merenungi titik dimana saya berdiri kini. Mencoba memutar kembali episode-episode kehidupan saya yang membawa saya pada hari ini. Pada posisi ini. Pada peran ini.

Sebagai manusia biasa, saya sering menoleh ke belakang. Merindukan hari-hari bahagia yang sudah lalu, sekaligus merutuki kebodohan-kebodohan tak perlu. Dan malam ini, saya memberanikan diri mengunjungi hari-hari kemarin. Memeriksa kembali motif saya. Takut dihantui rasa bersalah karena membuat keputusan dengan didorong alasan yang salah.

Tapi Malam, yakinlah bahwa saya tidak menyesali keputusan saya. Tidak akan menyurutkan langkah dan tak akan mengingkari janji sendiri. Saya tidak ragu pada esok karena esok adalah hari yang baru. Fajar baru membawa cerita baru. Kebetulan, hari ini saya sedang ingin memeriksa diri. Memastikan bahwa saya menyadari tidak hanya keputusan saya, tapi juga alasan sejati di balik segala yang terlihat mata.

Nyatanya, Malam, cita-cita itu terasa muluk sekarang. Sampai Fajar hampir menjemput pun, saya masih belum betul-betul tahu apakah motif sejati saya. Hanya kini, saya berdoa, apapun itu, tidak membuat saya lantas (suatu saat kelak) merasa jadi penipu yang tidak hanya membohongi orang lain, tapi juga membohongi diri sendiri. Saya berharap, apapun penemuan saya di masa datang hanya membawa keteguhan dan kebulatan hati bahwa semua baik adanya.

PS: titip salam untuk Gemintang tempatku menggantung mimpi, ya..

Monday, October 06, 2008

Celebrating the Enchanted Land: A Note to LN

I’ve been blessed
To explore the uncharted territory
With rainbow, lollies, fairies and butterflies
Not to forget the occasional appearance of beetle juice, goblins and some villains.

I’ve been flying high, so high
And there are times when it’s too high and scared the hell out of me
And I’ve stumbled, fallen several times
Covered with mud, shed some tears and got bruises as my souvenirs.

It’s no nirvana
It’s the mountainous landscape with slopes and sometimes abysses
But I’ve found grass-covered areas with breathtaking view
With gigantic old trees that offer shade and comfort
Inviting to spend some precious time
To captivate and absorb the whole experience
And enjoy the smell of the first rain.

Yet the land offer only so much
Not even the comfort from the caring old trees could stop me from venturing.
Magical creatures are everywhere
Scattered in places with atypical colors, shapes and smells
And they promised me flowers, cotton candies, freshly-baked cookies and animal-shaped balloons for my time and visit.

With so many to discover
More mysteries to delve into
I must say my grace.

There.

As for you,
You are the very reason am stepping into this Enchanted Land a Gregorian calendar ago
Together we created our own traveling map albeit mysteries of our tomorrow
And let me say this to you just because:
Thank you for asking me to join this expedition
(Well, I don’t think you asked
But I joined you anyway)
Thank you for always be there
And mind not my manic personality
Thank you for saying the loudest, most important word ever;
Your eyes and hugs tell all.

And at this very moment
Let us lit a candle
And wish for many more…

Tuesday, September 16, 2008

a letter for Adi..

Dear Adi,

yes, I miss you too
I miss the long nights we used to have talking about nothing and everything
I miss the silly arguments we shared on the past and the future
I miss our phone calls that forced you to pull over just so you can hear me
I miss the thundering sound of your old sidekick on my driveway that failed you so many times yet it always there to take you places
I miss your funny voice and strange sounds that you've made when you laugh
I miss your stories, your endless energy, your always-be-there-whenever-you-need-me attitude...

yes, I miss you too
and I found myself busy counting d days..

now,
spare me your precious time on late December and we'll catch up!

Thursday, September 04, 2008

To channel for my frustration..

Tanggal 26 Agustus kemarin ayah saya jatuh sakit. Sayangnya saya baru mengetahui berita sakitnya hari Minggu, 30 Agustus. Agaknya, sakitnya kali ini cukup serius karena dia terpaksa menginap di ICU selama 4 hari. Saat menerima kabar tersebut, saya sedang dalam perjalanan menuju untuk datang ke Festival Indonesia sekalian bertemu dengan kawan-kawan. Setelah menutup telepon, saya tidak bisa berpikir jernih. Telepon genggam saya yang mendadak hang pun jadi sasaran saya. Saya beruntung karena sedang bersama Lucky. Dialah yang memungut telepon saya dan memperbaikinya sampai bisa saya pergunakan lagi. Tolol dan kekanakan memang. Tapi saat itu saya sedang merasa cemas dan sedih. Cemas kalau-kalau kondisi ayah saya menurun. Saya mengkhawatirkan hal terburuk yang bisa terjadi. Sedih karena saya jauh dari rumah. Saya tidak bisa melihat sendiri keadaannya. Saya tidak bisa mencium dan memeluknya. Saya hanya bisa ketakutan. Seribu what ifs mengisi kepala saya.

Ayah saya memang bukan manusia sempurna. Who is, anyway? But he is the best dad I can ever ask for. Dia punya kapasitas besar dalam mencintai. Dulu, saya termasuk orang yang sangat tertutup dan merasa pantang menunjukkan emosi. Dialah yang mengajarkan saya untuk lebih terbuka. Lebih ekspresif dalam menunjukkan perasaan. Dia sering memeluk saya dan mengajarkan banyak hal melalui ucapan dan tindakannya. Saya bisa merasakan kasih sayangnya yang tulus walaupun kadang-kadang caranya luar biasa nyentrik. Kata-katanya jarang sekali terdengar manis di telinga. Lebih sering terdengar sebagai sindiran pedas. Apalagi dia juga keras kepala dan sering bertingkah semaunya sendiri. Dialah mentor saya. Partner berdebat terbaik yang pernah saya temui. Dia bisa mematahkan semua argumen saya tanpa membuat saya merasa kalah. Dia mengajarkan bahwa menjadi manusia rasional tidak berarti harus kaku dan arogan. Menjadi manusia seutuhnya yang bisa merasa dan menghargai kehidupan adalah cita-cita yang harus dikejar.

Saya merindukan dia. Saya ingin berada di rumah dan memarahinya karena tidak bisa menjaga kesehatan. Saya ingin membuatnya mengerti bahwa inilah saatnya menikmati hidup. Saya ingin mengatakan banyak hal padanya. Bahwa saya menyayanginya. Bahwa saya sedih mendengarnya sakit. Bahwa saya frustrasi tidak bisa berada di sampingnya.

Saya sudah berusaha menelponnya di hari Minggu. Tapi mendengar suaranya saja saya sudah tidak tega. Telepon terpaksa saya tutup dalam waktu kurang dari 5 menit. Untuk sementara, sepupu sayalah yang harus jadi pewarta berita kemajuan kesehatan ayah saya. Tapi akhirnya, semalam saya beranikan diri menelpon ke rumah. Setelah mengobrol dengan ibu saya, gagang telepon pun dialihkan pada ayah. Kami bicara sebentar sementara saya berjuang menahan emosi. Ketika telepon sudah kembali dialihkan pada ibu, saya pun tidak sanggup menahan diri. Ini adalah kali kedua saya menangis tahun ini. Rasanya aneh. Menangis di telepon. Ibu saya yang kebingungan pun berusaha menenangkan saya. Dia pun akhirnya meminta ayah saya untuk bicara dan membujuk saya supaya saya tidak lagi cemas dan menangis. Tapi saya tidak bisa. Tangis saya semakin tidak terkendali saat mendengar ayah saya mengatakan bahwa ia menyayangi saya dan meminta saya agar tidak mencemaskannya. Tapi bagaimana bisa? Dia belum pernah sakit seserius ini. Dan yang paling membuat frustrasi adalah fakta bahwa saya jauh dari rumah. Bagaimana saya bisa tenang?

Apakah saya egois? Ah, tapi saya tidak peduli. Dia adalah ayah saya dan saya mencintainya. Saya tidak ingin ada hal buruk terjadi padanya seperti juga dia yang tidak menginginkan hal buruk terjadi pada saya. Tapi apa daya saya? Kenapa berdoa saja rasanya tidak cukup? Kenapa saya masih saja melelehkan air mata?

Tuesday, August 05, 2008

A Jihad for Love

I watched A Jihad for Love yesterday with a very good friend of mine. It’s about gay Muslims try to find their place in Islam. It’s a bit weird concept for some, but I find the film incredibly interesting; particularly because I watched the film with gay people and non-Muslim audience. The responses, the ambience was interesting for my part.

The film started with a South African Imam came out in a radio program that he is gay. When he found out that he is different from any other boys, he try to get some consolation from the Qur’an and decided to learn more about Islam in Pakistan. To ‘solve the problem’ he was married once. His turning point was when his ‘purely platonic friend’ left and he found himself crying uncontrollably. He then told his wife and came clean. They divorced, but he maintains a close relationship with his two daughters. The daughters know that their father is a gay and support him in a very sweet and loving way albeit their young age.


There are several stories with different characters and settings throughout the film but the underlying thread is the ijtihad, struggle within self, to find a way in accepting the fact that they are gay as well as being a good Muslim. There is this Indian guy, that is illiterate and longing for acceptance; religiously and socially. Unfortunately, he came to an Imam that could not answer his queries but preach him to go to a psychologist instead. Apparently the Imam believes that ‘gay-ness’ is a sickness. The dialog was heartbreaking. The gay man wants some answers. The Imam wants to help. But it just didn’t work; to their understanding, homosexuality and Islam cannot coexist. It just doesn’t fit.

I know that I’m not a good Muslim. But I find myself a little bit uneasy when the audiences laugh at some verses and hadiths that are cited, as well as the Imams’ interpretation and explanation. Yes, I laugh myself sometimes because of some comments made, but I have a little bit of double standard yesterday. It’s like, it’s OK when I laugh because I’m a Muslim, but it’s not OK if they laugh. This feeling startled me a bit, but then I realize that I’m just like those gay in the film. I try to find own place in the room full of non Muslims watching a film about Islam (and homosexuality) because I have my preconception (about being a Muslim in a non Muslim environment) and I believe so do they. Then the issue of ijtihad becomes relevant. To my surprise, I can relate with the gay men’s cause.

Another interesting part of the film is when a lesbian couple consulted to a book about their place in Islam. If I’m not mistaken, they have never come across to any verse within the Qur’an that mentioned lesbians. And it got me. Yes, I rarely (if not barely) open the Qur’an, let alone studying the verses (with translation obviously); but I realize that I haven’t came across to anything related to lesbians. I’ve read about the Lot in Sodom and Gomorrah, but it refers to the relationship between men (oh, the South African Imam that I told you earlier, has an interesting and compelling interpretation about it). The funny thing is that the lesbian couple came across to a book that tries to define lesbian relationship. In short, it says something about sex without penetration (and yes, the audiences and I were laughing); hence one of the couple feels that being a lesbian is not a sin. Because the keyword there is penetration, and they don't do sexual intercourse. It is heartbreaking for me because (I think) the simplistic conclusion is their only way to find some consolation on their everyday emotional struggle. And I cried with them; because I too rationalize things in a simplistic way every now and then.

As far as I know, homosexuality does not go well with any religion. But the courage of the gay people portrayed; the conviction to their faith and believe that Allah is benevolent and merciful; that Allah created them for a reason because for them, being gay is not something they do by choice; is extraordinary. There is this question asked by an atheist about why they still believes in Islam. I didn’t remember the answer; but I admire their audacity…

Thursday, June 19, 2008

BATIK

Saat saya baru saja sampai Jakarta 2 minggu lalu, saya bercerita pada ayah tentang keinginan saya makan kepiting. Maklumlah, di negeri kangguru sana saya tidak sanggup membeli kepiting. Juga tidak bisa memasaknya. Jadilah saya harus berpuasa makan kepiting selama setahun terakhir. Mumpung saya sedang di tanah air, saya kepingin sekali makan kepiting saos Padang. Mendengar keinginan saya, ayah saya pun merasa kasihan pada anaknya yang memang hobi minta ditraktir. Akhirnya, selang sehari setelah saya datang, ayah saya pun mengajak makan kepiting.

Saya akui saya ini sangat ndeso. Udik. Tidak pernah mengikuti berita-berita tanah air kecuali kalau saya benar-benar tidak ada kerjaan. Itu pun paling-paling saya membuka halaman detikhot. Padahal seringkali saya juga tidak mengerti isi berita detikhot karena banyak artis yang tidak saya ketahui wajahnya atau bahkan alasan keartisannya. Maka tidak heran kalau saya pun terbengong-bengong ketika saya tiba di Bandar Djakarta untuk memuaskan keinginan saya makan kepiting saos Padang.

Sewaktu saya masuk restoran, saya kaget karena banyak orang mengenakan batik. Keadaan restoran yang ramai dan tempat memilih ikan yang dipenuhi orang, membuat tercetus sebuah pemikiran yang kemudian saya sampaikan dengan penuh keyakinan pada ayah saya. Biasalah, saya ini kan orangnya sering sok tahu dan sok iye.

“Kayaknya lagi ada acara deh, Pak. Itu orang-orang pada pakai batik. Mungkin ada yang booking restorannya.”

Padahal, dalam hati saya cemas sekali kalau tempat itu benar-benar di-booking, artinya saya harus pindah tempat lain untuk makan kepiting. Padahal perut sudah lapar sekali. Ternyata, di dalam restoran memang sedang ada acara kecil. Tapi tidak semua pengunjung berpakaian Batik di sana adalah peserta acara kecil tersebut. Untungnya, saya dan keluarga tetap bisa makan di situ. Akhirnya saya makan kepiting juga…

Keesokan harinya, saya membuat janji makan malam dengan sahabat-sahabat saya di masa SMA dulu. Kebetulan, orang tua salah satu sahabat saya tersebut memiliki usaha restoran. Karena sudah kangen juga dengan masakan ala Tante Ita, kami pun memutuskan makan di rumah makan milik orang tua sahabat saya itu, walaupun Mpel, anak si empunya restoran itu, keberatan kami makan di sana dengan alasan bosan dengan menunya.

Selagi asyik bercerita sambil menikmati sop buntut goreng dan sop iga yang menguras kantong itu (aduh jadi kangen sewaktu Tante Ita belum buka restoran, saya bisa makan semua masakannya dengan gratis…), saya memerhatikan orang-orang yang lalu lalang. Hampir semua pengunjung mengenakan batik. Laki-laki atau perempuan, sama saja. Hanya saja,batik yang dikenakan pengunjung perempuan biasanya berpotongan lebih modern. Tidak lagi ortodok ala batik yang biasa saya kenakan setiap hari Jumat dulu. Setelah saya mengomentari pengujung2 berbatik pada kawan-kawan saya, barulah saya tahu betapa ketinggalan jamannya saya. Rupanya, batik sedang digandrungi kaum muda di Indonesia. Atau minimal di Jakarta dan Bogor-lah. Sehingga kecurigaan saya tentang adanya acara formil yang membuat banyak orang harus berbatik di tempat itu pun harus dibuang jauh-jauh.

Fenomena batik ini pun membuat saya berpikir. Tentang betapa ndesonya saya. Tentang kagumnya saya pada pemakai batik-batik tersebut. Tentang perbaikan ekonomi para perajin batik di pelosok-pelosok. Tentang kekhawatiran saya kalau-kalau hal ini hanya akan jadi fad saja: suatu tren yang muncul dengan cepat tapi cepat pula menghilang. Tapi pada akhirnya, saya jadi teringat informasi yang diberikan tante saya yang kebetulan seorang pegawai negeri. Bahwasanya, kalau sebelumnya saya hanya harus mengenakan batik di hari Jumat, maka kalau saya kembali nanti, saya harus mengenakan batik tidak hanya di hari Jumat, tapi juga di hari Selasa. Ini artinya, saya harus membeli batik lagi. Maklum, saya kan hanya punya 2 batik katun untuk dipakai secara bergantian setiap Jumat. Padahal, dengan kenaikan harga BBM sekarang saja saya sudah pusing memikirkan biaya hidup saya yang akan semakin membengkak sekembalinya saya ke tanah air akhir tahun nanti. Sekarang, saya pun harus berpikir untuk menambah jumlah batik untuk dipakai setiap Selasa dan Jumat… tidakkkk….