layar yang bisu dan tanpa daya menjadi tempat yang tepat untuk tumpahkan semua. objek yang tidak akan pernah jadi subjek. tanpa komplikasi. tanpa kompromi. sesederhana itu.

Sunday, October 16, 2005

dari gambir

“Permisi.”

Aku melirik sedikit sambil mengangguk sopan. Kugeser pantatku sedikit sambil ekor mataku mengamatinya. Harus kuakui ia tampan.

“Mau ke Bandung juga, mbak?”

Ganteng kok tolol! Sudah tahu ini kereta Argo Gede, masih tanya-tanya.

Tapi dengan senyum mengembang, mulut dan lidahku berkomplot untuk membuka dan bilang,”ya. Saya memang mau ke Bandung.”

Malas betul diajak ngobrol orang tak dikenal sementara semalam aku belum sempat tidur. Aku terpaksa lembur dan menginap di kantor demi presentasi siang ini di Bandung. Tiba-tiba saja, telepon genggam bututku yang sedari tadi terselip di saku jaket menjelma jadi benda paling penting saat ini. Padahal hingga semenit yang lalu aku masih memaki-maki teleponku itu sebagai benda paling tak ada gunanya. Faktor usia menyebabkan teleponku itu sering mati tanpa ijin. Tapi karena situasi darurat, kuambil teleponku dan pura-pura asyik memainkannya.

“Mbak ada urusan pribadi atau pekerjaan, di Bandung?”

Bukan urusanmu! Tapi sebagai orang timur aku harus menjawab,”ah, biasa, urusan pekerjaan.”

Dan kalimat itulah yang melompat dari bibirku.

“Kalau saya ada urusan pribadi, mbak. Pasangan saya kawin dengan orang lain. Gara-gara keluarganya yang nggak suka sama saya.”

Ah, sudahlah. Selamat tinggal waktu tidur. Tadinya kupikir perjalanan yang tiga jam ini bisa dimanfaatkan untuk sekedar mengistirahatkan mata. Ternyata, sekarang aku harus mendengarkan tragedi cinta orang asing.

Kusimpan lagi teleponku.

Pikiranku berkelana. Teringat wajah suamiku. Ah, betapa kucinta dia. Lalu terbayang percintaan kami dua malam lalu –mengingat semalam aku harus menginap di kantor. Luar biasa.

...

“dan yang menyakitkan perempuan ini sudah berumur. Katanya dulu keasikan kerja sampai lupa kawin. Padahal kekasih saya baru 35 tahun. Istrinya itu sudah hampir 45. Bayangkan! Bagaimana rasanya itu? Lalu saya ini dianggap apa? Saya juga ‘kan manusia.”

Tapi?

Kutelan pertanyaanku. Ini menarik.

Aku pasang mimik penuh simpati dan mencoba berpikiran terbuka. Kupikir, situasinya memang menyebalkan.

Di saat yang sama, sayup-sayup kudengar suara peluit dan kurasakan kereta mulai bergerak.

“Sabar saja. Segala persoalan pasti ada pemecahannya. It takes time,”kataku bijak.

“Mbak pasti sudah melalui semua urusan tolol seperti ini ya, mbak?”

“Kisah cintaku tidak romantis. Kami dijodohkan, tapi ternyata kami jatuh cinta. Sekarang kami menikmati perkawinan kami,” sahutku diplomatis sambil berusaha untuk tidak terdengar terlalu bahagia. Kurasakan hawa panas menjalar di pipiku.

“Tadi malam kekasihku datang. Katanya dia rindu. Tapi aku sakit hati. Katanya, istrinya ada pekerjaan penting jadi dia bisa mencuri waktu untukku. Aku benci jadi simpanan.”

Ah, tega betul kekasihnya. Kulihat matanya sudah berkaca-kaca.

“Kau harus bersikap,” kataku menguatkan,”salah satu harus melepaskan.”

“Makanya, aku sekarang ke Bandung mau ketemu Santi, istri Rusdi kekasihku itu yang sedang dinas di Bandung dan menceritakan hubunganku dengan suaminya. Aku tidak rela kekasihku jadi milik si perawan tua!”

Aku terperangah. Namaku Santi. Suamiku Rusdi. Umurku 43, suamiku 35. Kami baru saja menikah. Terlalu banyak kebetulan. Aku ingin muntah.

1 Comments:

Blogger Hendro said...

Ah, memang perjalanan antara Bandung - Jakarta banyak menyimpan pesona, ya mpok...

9:54 AM

 

Post a Comment

<< Home