layar yang bisu dan tanpa daya menjadi tempat yang tepat untuk tumpahkan semua. objek yang tidak akan pernah jadi subjek. tanpa komplikasi. tanpa kompromi. sesederhana itu.

Thursday, June 19, 2008

BATIK

Saat saya baru saja sampai Jakarta 2 minggu lalu, saya bercerita pada ayah tentang keinginan saya makan kepiting. Maklumlah, di negeri kangguru sana saya tidak sanggup membeli kepiting. Juga tidak bisa memasaknya. Jadilah saya harus berpuasa makan kepiting selama setahun terakhir. Mumpung saya sedang di tanah air, saya kepingin sekali makan kepiting saos Padang. Mendengar keinginan saya, ayah saya pun merasa kasihan pada anaknya yang memang hobi minta ditraktir. Akhirnya, selang sehari setelah saya datang, ayah saya pun mengajak makan kepiting.

Saya akui saya ini sangat ndeso. Udik. Tidak pernah mengikuti berita-berita tanah air kecuali kalau saya benar-benar tidak ada kerjaan. Itu pun paling-paling saya membuka halaman detikhot. Padahal seringkali saya juga tidak mengerti isi berita detikhot karena banyak artis yang tidak saya ketahui wajahnya atau bahkan alasan keartisannya. Maka tidak heran kalau saya pun terbengong-bengong ketika saya tiba di Bandar Djakarta untuk memuaskan keinginan saya makan kepiting saos Padang.

Sewaktu saya masuk restoran, saya kaget karena banyak orang mengenakan batik. Keadaan restoran yang ramai dan tempat memilih ikan yang dipenuhi orang, membuat tercetus sebuah pemikiran yang kemudian saya sampaikan dengan penuh keyakinan pada ayah saya. Biasalah, saya ini kan orangnya sering sok tahu dan sok iye.

“Kayaknya lagi ada acara deh, Pak. Itu orang-orang pada pakai batik. Mungkin ada yang booking restorannya.”

Padahal, dalam hati saya cemas sekali kalau tempat itu benar-benar di-booking, artinya saya harus pindah tempat lain untuk makan kepiting. Padahal perut sudah lapar sekali. Ternyata, di dalam restoran memang sedang ada acara kecil. Tapi tidak semua pengunjung berpakaian Batik di sana adalah peserta acara kecil tersebut. Untungnya, saya dan keluarga tetap bisa makan di situ. Akhirnya saya makan kepiting juga…

Keesokan harinya, saya membuat janji makan malam dengan sahabat-sahabat saya di masa SMA dulu. Kebetulan, orang tua salah satu sahabat saya tersebut memiliki usaha restoran. Karena sudah kangen juga dengan masakan ala Tante Ita, kami pun memutuskan makan di rumah makan milik orang tua sahabat saya itu, walaupun Mpel, anak si empunya restoran itu, keberatan kami makan di sana dengan alasan bosan dengan menunya.

Selagi asyik bercerita sambil menikmati sop buntut goreng dan sop iga yang menguras kantong itu (aduh jadi kangen sewaktu Tante Ita belum buka restoran, saya bisa makan semua masakannya dengan gratis…), saya memerhatikan orang-orang yang lalu lalang. Hampir semua pengunjung mengenakan batik. Laki-laki atau perempuan, sama saja. Hanya saja,batik yang dikenakan pengunjung perempuan biasanya berpotongan lebih modern. Tidak lagi ortodok ala batik yang biasa saya kenakan setiap hari Jumat dulu. Setelah saya mengomentari pengujung2 berbatik pada kawan-kawan saya, barulah saya tahu betapa ketinggalan jamannya saya. Rupanya, batik sedang digandrungi kaum muda di Indonesia. Atau minimal di Jakarta dan Bogor-lah. Sehingga kecurigaan saya tentang adanya acara formil yang membuat banyak orang harus berbatik di tempat itu pun harus dibuang jauh-jauh.

Fenomena batik ini pun membuat saya berpikir. Tentang betapa ndesonya saya. Tentang kagumnya saya pada pemakai batik-batik tersebut. Tentang perbaikan ekonomi para perajin batik di pelosok-pelosok. Tentang kekhawatiran saya kalau-kalau hal ini hanya akan jadi fad saja: suatu tren yang muncul dengan cepat tapi cepat pula menghilang. Tapi pada akhirnya, saya jadi teringat informasi yang diberikan tante saya yang kebetulan seorang pegawai negeri. Bahwasanya, kalau sebelumnya saya hanya harus mengenakan batik di hari Jumat, maka kalau saya kembali nanti, saya harus mengenakan batik tidak hanya di hari Jumat, tapi juga di hari Selasa. Ini artinya, saya harus membeli batik lagi. Maklum, saya kan hanya punya 2 batik katun untuk dipakai secara bergantian setiap Jumat. Padahal, dengan kenaikan harga BBM sekarang saja saya sudah pusing memikirkan biaya hidup saya yang akan semakin membengkak sekembalinya saya ke tanah air akhir tahun nanti. Sekarang, saya pun harus berpikir untuk menambah jumlah batik untuk dipakai setiap Selasa dan Jumat… tidakkkk….

4 Comments:

Blogger Jeng Batique said...

batik memang perlu dilestarikan.. btw, kalau tertarik u/ menambah baju/kain batik bisa lihat-lihat di Batik Athifa loh..

10:23 PM

 
Blogger belongimbal said...

the perfect reason to go shopping!!!

12:42 AM

 
Anonymous Anonymous said...

tulisan ringan yang menarik.

10:56 PM

 
Anonymous Anonymous said...

I'm Sonja McDonell, 23, Swiss Airlines Stewardess with 13 oversea towns, very tender with lots of fantasies, also in my wonderful job. I've just read you long stors, wonderful. We lesbian girls have nerves at and in our sensitive body parts in a young age, which so called "normal girls" do not have. This cannot be changed & removed, because the source is deeply stored in some brain cells. Lesbian girls in Indonesia are very shy to admit & realize their hidden desires. sonjamcdonell@yahoo.com

12:47 PM

 

Post a Comment

<< Home