layar yang bisu dan tanpa daya menjadi tempat yang tepat untuk tumpahkan semua. objek yang tidak akan pernah jadi subjek. tanpa komplikasi. tanpa kompromi. sesederhana itu.

Sunday, October 23, 2005

Semua Karena Seno

Lintang sudah lama pergi. Berburu senja ke Uluwatu katanya. Entah sudah berapa kali dia pergi ke sana, selalu dengan alasan yang sama.

“Senja di atas tebing Uluwatu adalah senja yang paling cantik,” katanya suatu ketika. Disodorinya aku selembar foto hasil jepretannya.

Jingga memonopoli gambar itu. Tampak buram di bagian depan: sekelompok penari membawakan kecak. Itulah karya khasnya. Senja selalu tampil sebagai pemeran utama. Bahkan gerak indah milik penari yang gemerlap dibasahi keringat, tidak pantas menggantikan peran senja dan harus rela untuk sekadar jadi figuran.

Di kala lain kuajukan pertanyaan yang selamanya akan kuingat, “kenapa harus senja, Lintang? Banyak orang pergi jauh untuk menikmati fajar. Bangun lebih pagi dan melihat surya mengintip di balik tirai mega-mega. Kita bisa melihat senja setiap hari.”

“Ah, begitu juga fajar, Niken. Kita bisa melihat fajar tiap hari. Aku tak bisa jelaskan alasanku jatuh cinta pada senja. Tapi sejak Seno mengenalkannya padaku, aku tak bisa berpaling lagi. Aku terbius. Sama halnya seperti kau yang tidak bisa menjelaskan kenapa tetap saja kau pakai kaos bututmu itu setiap malam, padahal ada banyak kaos lain yang bisa kau pakai tidur.”

Aku tersengat. Ini kan dua hal yang berbeda. Kecintaanku pada kaos Mickey-ku masih lebih bisa dijelaskan dibandingkan dengan obsesi Lintang pada senja. Tapi aku diam saja. Daripada nanti aku harus panjang lebar berdebat dengannya.

Kumasuki kamar Lintang. Kumanjakan mataku untuk menikmati hasil buruannya selama ini. Ada jingga di Ujung Genteng, merah saga di kompleks pertambangan batu bara di Borneo, dan beberapa senja lagi yang ditangkap dan dipenjarakan Lintang dalam kertas foto berukuran besar. Tapi yang paling menyihir adalah bingkai di seberang tempat tidur. Delapan senja hitam putih di Uluwatu. Untuk Seno, judulnya. Ah, Lintang, dimanakah kau?

Tidak seperti biasanya, kali ini Lintang sudah pergi beberapa hari lebih lama. Teleponnya pun sulit dihubungi. Bude Indri, ibunya Lintang, sudah berkali-kali meneleponku untuk menanyakan kepulangan Lintang.

Riana, teman kantornya, sudah menanyakan kepastian Lintang masuk kantor. “Ada liputan ke Merauke, Lintang pasti suka,” kata Riana di ujung telepon.

Lintang memang senang pergi liputan ke pelosok. Supaya bisa berburu senja-senja yang belum terjamah, katanya.Ternyata kesenangannya ini juga menyenangkan rekan-rekan kantornya. Hasilnya, liputan ke daerah-daerah terpencil hampir selalu dimonopoli Lintang.

Aku bingung. Dimas, teman seperjalanannya kali ini juga tak bisa kuhubungi. Kukontak kakakku yang tinggal di Jimbaran, tapi Mbak Wid juga sudah beberapa hari tak bertemu Lintang. “Mungkin Lintang ketemu senja yang lebih cantik dan keasyikan. Sabar saja Ken. Mungkin besok dia pulang ke Jakarta,” jawab Mbak Wid dua hari lalu.

Dan sekarang, aku termangu di jendela kamar Lintang. Di luar sana, matahari yang kelelahan sudah menarik selimut kelabunya, dan meninggalkan senja seorang diri.

Ah, senja, kenapa kau harus seorang diri sekarang? Bukankah Lintang menemanimu di ujung bumi yang lain?