Menulis Kegelisahan
Itu sebabnya, untuk bisa menulis diperlukan rasa gelisah. Diperlukan konflik. Padahal manusia cenderung menghindari konflik. Bukan menghadapinya. Apalagi mencarinya. Inilah mungkin alasan mengapa menulis itu demikian sulit. Setidaknya menurut saya.
Menulis adalah kerja kemanusiaan, kata Pram. Mungkin maksudnya, menulislah yang membuat kita, manusia, menyadari kemanusiaan kita. Karena menulis adalah bercermin dan berpikir. Pertanyaannya adalah, apakah kita, manusia, suka bercermin dan berpikir?
Ah, sebagian orang tentu menyukai kegiatan yang satu ini. Saya, minimal satu kali dalam sehari, selalu menyempatkan diri untuk bercermin. Kalau sedang bahagia, saya jadi lebih sering mematut-matut diri. Tapi kalau sedang susah? Sedang berjerawat? Sepulang facial dari salon? Kecuali saya yakin saya bisa memperbaiki tampilan di cermin dengan beragam cara, tentu saya akan menjauhi cermin karena yakin saya tidak akan suka melihat bayangan saya di sana.
Bayangan. Itu kata kuncinya. Yang sering kita lihat di cermin adalah bayangan diri kita, bukan siapa kita sesungguhnya. Kalau kita benar-benar bercermin, mencari tahu siapa diri kita sebenarnya, apakah kita masih akan tetap menjalin hubungan sedemikian rupa dengan cermin? Apakah kita masih akan sering bercermin?
Menulis adalah pekerjaan mudah saat segala yang kita lihat dan pikirkan adalah kepura-puraan. Seperti bayangan kita di cermin adalah kepura-puraan. Tapi untuk bisa menulis dalam, jauh menelisik, sehingga bisa memanusiakan manusia, diperlukan kerja keras. Perlu usaha besar dan kemauan kuat. Maka, buat saya, menulis itu sulit. Tidak pernah mudah, tapi juga tidak mustahil.
Tom Hogan pernah mengatakan pada saya bahwa kelemahan orang Indonesia adalah suka menelan bulat-bulat segala sesuatu yang berasal dari barat. Padahal, lain padang, lain ilalang. Sebenarnya kritik ini tidaklah baru, tapi saat orang asing yang mengucapkannya secara langsung kepada saya, seorang Indonesia, saya merasa ditampar. Tamparan yang menggugah.
Pekerjaan dan kuliah memaksa saya untuk banyak membaca dan berdiskusi. Setelah membaca sejumlah buku, saya menemukan beberapa buku yang menurut saya berpotensi besar untuk menyesatkan banyak orang. Ini kegelisahan saya.
Saya sendiri belum punya budaya menulis. Mungkin, seperti kata Haris Sumadiria, saya ini termasuk orang primitif, orang barbar, karena belum punya budaya tulis menulis. Saya tahu, saya tidak akan pernah mulai menulis kalau tidak memulainya. Pertanyaannya: apakah harapan dan kenyataan dalam diri saya berada dalam jarak yang cukup menantang untuk memotivasi saya menulis?
...
PS: Saya tidak yakin pada buku-buku how to yang mengajarkan kredo menulis itu gampang!
3 Comments:
Einstein juga pernah mengalami kegelisahan hingga bisa menjadi manusia jenius.
:)
12:34 PM
Always remember what William Forrester said to his prodigy, Jamal Wallace in the movie Finding Forrester,"You must write your first draft with your heart. You rewrite with your head. The first key to writing is...To write, not to think!"
Deep huh?
2:20 PM
Looking for information and found it at this great site... Pda ham radio logging software Sunbrite tvs Mini fridges with freezers http://www.robot-vacuum-cleaner-project.info/Card-four-gam-keno.html england bulk mailer message board email drive external hard slim business opportunities Cadillac lowriders for sale Be your best breast enlargement
2:23 AM
Post a Comment
<< Home