layar yang bisu dan tanpa daya menjadi tempat yang tepat untuk tumpahkan semua. objek yang tidak akan pernah jadi subjek. tanpa komplikasi. tanpa kompromi. sesederhana itu.

Wednesday, October 04, 2006

saya korup!

Sejak kemarin semangat saya untuk mencela orang sepertinya tak kunjung habis. Setiap kali melihat atau mendengar orang melakukan atau mengatakan sesuatu yang klise di kepala saya selalu berputar-putar bermacam cela yang membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Seperti pertemuan saya dengan seorang petinggi sebuah media besar di Jakarta yang sukses membuat saya harus berjuang keras menjaga penampilan yang meyakinkan di hadapannya. Sang petinggi ini bercerita betapa medianya harus berjuang keras menahan segala tekanan, termasuk dari pengiklan dan pemilik agar tidak mengganggu jalannya kerja keredaksian. Padahal, beberapa hari sebelumnya, saya mendapat bocoran tentang modus operandi media yang bersangkutan bila akan menurunkan pemberitaan negatif salah satu pengiklan atau partner bisnisnya. Sebelum berita dinaikkan, redaktur akan mengecek jenis kerjasama apa saja yang dimiliki media tersebut dengan subjek pemberitaan dan berapa besarnya. Bila signifikan, maka berita tersebut akan turun kelas menjadi newsbrief sepanjang satu atau dua paragraf saja. Maka, ketika di pertemuan lalu sang petinggi menceritakan upaya heroiknya untuk menjaga independensi berita, kalimat yang terlintas di kepala saya,”Ah, Bapak ngorong!” (baca: ah, Bapak ngarang!). Alhasil, saya cukup yakin salah satu alasan sang petinggi tersebut beberapa kali memandang ke arah saya adalah sebagai penekanan akan ucapannya karena ia ragu saat membaca reaksi saya. Mungkin dia melihat pergulatan saya untuk menjaga mimik serius padahal dalam hati ingin tertawa sekeras-kerasnya.

Contoh lain adalah saat bertemu kawan-kawan di sekretariat pasca. Saya yang datang terlambat padahal sudah dua kali bolos rapat, kebingungan saat mengikuti jalannya rapat. Berkali-kali bapak ketua panitia yang terhormat menekankan pentingya berpikir teknis dan tidak lagi bermain asumsi dan wacana. Tapi sampai rapat berakhir, saya betul-betul tidak tahu apa yang harus saya kerjakan hingga jadwal pertemuan berikutnya. Tidak ada penganggaran waktu yang tegas, tidak ada penganggaran dana yang tegas, tidak ada prioritas, tidak ada agenda jelas, dsb., dsb. Setiap kali saya tanyakan hal-hal yang sifatnya teknis, selalu saja mentah kembali. Bahkan, bapak ketua yang terhormat menghabiskan banyak waktu untuk berdebat yang tidak perlu dengan sekretarisnya, sementara yang lain harus menyaksikan perdebatan yang tidak penting itu. Betul-betul buang waktu. Maka, di perjalanan pulang saya sedikit menyesal sore ini menyempatkan datang rapat, tapi juga bersyukur karena sudah bolos dua rapat sebelumnya. Terbayang, betapa memuakkan harus membahas hal yang sama berulang-ulang. Pola pikir yang sangat birokratis, keren dan glamour tapi tidak jelas titik aplikasinya betul-betul menguras emosi sekaligus mengukur ambang kesabaran. Apalagi, yang saya tangkap, ada gejala ingin tampil sebagai yang paling bisa, paling hebat dan banyak paling lainnya, yang sebenarnya tidak diikuti dengan pembuktian di tingkat eksekusi. Ah, ternyata, kawan-kawan seangkatan saya pun sudah bermental korup. Hingga akhirnya membuat saya bertanya-tanya sendiri, jangan-jangan saya pun sudah korup!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home