layar yang bisu dan tanpa daya menjadi tempat yang tepat untuk tumpahkan semua. objek yang tidak akan pernah jadi subjek. tanpa komplikasi. tanpa kompromi. sesederhana itu.

Saturday, November 18, 2006

dari pemakaman pak dendi

dear all,
Pak Dendi bukan dosen wali saya. meski saya tidak intens berkomunikasi dengannya, satu hal yang saya perhatikan, beliau selalu tenang dalam segala situasi, tidak banyak bicara dan murah senyum. oh ya, saat kuliah dulu, saya dan beberapa kawan perempuan seringkali membayangkan betapa gantengnya beliau saat muda karena bahkan di usia senjanya pun beliau masih tampak keren.
saat saya datang ke rumah duka dan datang ke acara pemakamannya keesokan harinya, tidak ada satu pun ingatan negatif tentang beliau terselip dalam pembicaraan. ada yang mengingat pengalaman melihat Pak Dendi berjualan wayang kertas sambil berteduh di bawah payung saat pasar seni ITB. ada juga yang mengenal Pak Dendi sebagai perokok berat (sebuah fakta yang cukup mengejutkan saya, karena saya tidak pernah melihat almarhum merokok), Pak Dendi yang aktivis mahasiswa hingga Pak Dendi yang mengajar di banyak tempat. menurut keluarga dekatnya, kegiatan perkuliahan selalu jadi subjek favorit perbincangannya bahkan saat pertemuan-pertemuan keluarga. juga sempat seorang teman menceritakan komentar seorang widya iswara saat prajabatan beberapa bulan lalu tentang seorang Dendi Sudiana: dia itu seniman sejati, saya saja heran saat dia memutuskan untuk menjadi guru!
siapapun Pak Dendi bagi masing-masing kita, ada satu hal yang diungkap Prof. Deddy Mulyana dalam perjalanan menuju Rancacili, tempat peristirahatan terakhir Pak Dendi. "Inilah yang dicari semua orang. saat pensiun dan meninggal, semua orang mengingat hal-hal baik yang kita lakukan." ditambahkannya lagi, "Pak Dendi itu orang baik. tidak pernah bicara buruk tentang orang lain."
kebiasaan Pak Dendi yang banyak diam dan tidak pernah mengeluh bahkan saat sakitnya pun diungkap oleh keluarga beliau. di mata keluarga besarnya, Pak Dendi tidak pernah membantah, bahkan terhadap istrinya.
sekarang Pak Dendi sudah beristirahat tenang di Pemakaman Muslim Rancacili. tempatnya beristirahat kebetulan tepat di bawah pohon yang cukup rindang. "Dia beruntung," kata Prof. Deddy Mulyana. Namun, tetap terselip kekhawatiran tentang kemungkinan tanah pemakaman yang mudah longsor karena struktur tanahnya yang labil dan 'rutinitas' tahunan saat musim penghujan: banjir.
oh ya, dalam proses pemakaman, saya bangga pada Bhawika dan Chandra, putra kedua dan ketiga Pak Dendi yang terlihat tegar dan selalu menggandeng ibunya, kecuali saat mereka berdua menurunkan jenazah Pak Dendi ke liang kubur. Sayang, putra pertama beliau tidak bisa hadir di pemakaman karena sedang di Jepang.
begitulah.
Semoga Pak Dendi tenang di sana dan diterima amal ibadahnya.
amin.

2 Comments:

Anonymous Anonymous said...

amin..
makasih mpok atas smua doa dan dukungannya,
terlalu banyak cerita beliau untuk diceritakan,
tapi sdikit, beliau meninggal bukan karena telat transfusi darah,
malah suster bilang itu sangat kecil kemungkinan bisa membantu,
tapi skali lagi trima kasih,

sukses dengan beasiswanya :-D cheers

11:11 PM

 
Anonymous Anonymous said...

wow... sosok yang inspiratif.

Semoga kelak saya bisa seperti Pak Dendi ini. Dikenang orang atas kebaikannya.

Salam kenal Mbak.
(saya nemu blog ini karena rasa ingin tahu atas nama saya yang juga Dendi)

12:26 AM

 

Post a Comment

<< Home