layar yang bisu dan tanpa daya menjadi tempat yang tepat untuk tumpahkan semua. objek yang tidak akan pernah jadi subjek. tanpa komplikasi. tanpa kompromi. sesederhana itu.

Wednesday, May 28, 2008

Hal-hal Serius

Belakangan ini ada saja hal-hal serius yang mengganggu pikiran saya. Mengganggu dalam arti saya tidak siap sedia untuk memikirkannya, tapi kok ya jadi harus ikut mikiri. Terutama tentu saja kabar-kabar dari sanak saudara, handai taulan di tanah air. Dari kabar kesripahan (alias kabar duka) sampai kabar bahagia. Tentu saja semua kabar itu tidak akan membuat saya berpikir serius apabila tidak ada alur maju mundur dan skenario ala opera sabun yang menyertainya. Intrik-intrik dan saling tusuk sudah jadi menu wajib di dalamnya.

Karena hal-hal serius itu memaksa saya untuk berpikir (padahal sungguh deh, saya tidak kepingin memikirkan hal-hal serius) kadang-kadang otak saya yang besarnya menyaingi otak si Homer Simpson ini seringkali overload. Kelebihan muatan. Untung saya ini baik hati dan suka berbagi. Demi menjaga kesehatan mental, akhirnya saya putuskan membaginya pada orang terdekat. Saya tahu, selalu ada kemungkinan dia bosan mendengar cerita saya atau malah kesal karena sebentar-sebentar ada saja yang saya keluhkan. Tapi yah apa boleh buat...

Kejadian-kejadian serius itu datangnya seperti ombak di pantai yg datangnya bergelombang-gelombang. Alhasil, emosi dan energi saya pun terkuras dengan bergelombang-gelombang. Kadang-kadang saya merasa sirik pada orang-orang lain yang tampaknya hidupnya baik-baik saja. Tapi mungkin juga orang-orang lain itu seperti saya juga. Yang di luar terlihat baik-baik padahal kalau sudah sendiri di kamar malah meratapi nasib. Tapi perlu diluruskan kalau saya jarang sekali meratapi nasib, ya. Kadang-kadang saja kalau terpaksa, hahaha... Saya jadi ingat beberapa kawan yang berkomentar tentang hidup saya. Kata mereka, hidup saya ini enak. Memang saya punya banyak hal yang patut disyukuri. Tapi ada juga hal-hal yang membuat saya garuk-garuk kepala dan ingin berteriak keras-keras. Maka, saya percaya semua orang punya ceritanya sendiri-sendiri. Ada orang yang merasa hidupnya sangatlah malang, tapi ada juga orang yang menanggapi masalah-masalahnya dengan hati ringan.

Lalu saya ada termasuk yang mana?

Mungkin orang lain yang seharusnya menjawab pertanyaan ini. Karena ini pertanyaan yang tidak bisa saya jawab sendiri. Seringkali saya bersikap seperti ratu drama. Senang mencari perhatian dengan sibuk mengeluhkan ini itu. Meributkan hal-hal yang tidak terlalu penting. Tapi saya juga bukan tipe orang yang suka mengumbar cerita kemana-mana. Apalagi tentang hal-hal serius yang belakangan memaksa untuk dipikir. Harga diri saya (kamana atuh harga diri, hahaha...) tidak mengijinkan saya untuk membagi hal-hal serius yang sangat pribadi itu dengan sembarang orang. Bukan apa-apa, selain saya bukanlah selebritas, saya tidak suka membuat orang lain sibuk ikut memikirkan saya dan masalah-masalah saya. Wong orang lain juga sudah pada sibuk dengan masalahnya sendiri-sendiri. Tidak perlulah saya tambah-tambahi lagi. Akhirnya, terpaksa, dialah yang harus menampung semua. Semoga dia juga tidak lantas kelebihan muatan...

Hal-hal serius yang silih berganti datang untuk saya pikir belakangan, membuat saya kepingin punya laci seperti di serial Doraemon. Saya kepingin punya laci mesin waktu supaya saya bisa kembali ke masa-masa carefree dimana hidup terlihat lebih sederhana dan tidak banyak tuntutan. Menjadi dewasa kok merepotkan sekali. Tapi kalau lacinya susah didapat, Pintu Kemana Saja juga tidak apa-apa. Dengan begitu, saya bisa segera pergi bertemu dengan pihak-pihak terkait dan menghadapinya secara langsung. Tapi yah, sayangnya dua hal itu cuma ada di televisi. Jadi untuk sementara saya harus puas berangan-angan dulu.

Memikirkan hal-hal serius memang melelahkan. Apalagi, di saat yang sama, hidup harus berjalan seperti biasa. Tugas menumpuk harus selesai tepat waktu. Kuliah yang cuma dua kali seminggu itu harus dihadiri. Bahan bacaan yang sulit dipahami itu harus dilahap sebelum datang ke kelas. Belum lagi kebutuhan untuk bersosialisasi dan lain sebagainya. Meski saya tidak suka dan terpaksa memikirkan hal-hal serius, saya selalu bisa menertawakan kebodohan saya karena terlalu serius memikirkan hal-hal serius yang pada suatu saat nanti bisa jadi tidak lagi serius. Dan setelah saya pikir-pikir, sepertinya saya juga sudah terlalu serius menulis soal hal-hal serius yang menjadi pikiran saya belakangan ini padahal setelah dibaca lagi sepertinya tidak terlalu serius... hm... bodohnya saya....