layar yang bisu dan tanpa daya menjadi tempat yang tepat untuk tumpahkan semua. objek yang tidak akan pernah jadi subjek. tanpa komplikasi. tanpa kompromi. sesederhana itu.

Tuesday, September 16, 2008

a letter for Adi..

Dear Adi,

yes, I miss you too
I miss the long nights we used to have talking about nothing and everything
I miss the silly arguments we shared on the past and the future
I miss our phone calls that forced you to pull over just so you can hear me
I miss the thundering sound of your old sidekick on my driveway that failed you so many times yet it always there to take you places
I miss your funny voice and strange sounds that you've made when you laugh
I miss your stories, your endless energy, your always-be-there-whenever-you-need-me attitude...

yes, I miss you too
and I found myself busy counting d days..

now,
spare me your precious time on late December and we'll catch up!

Thursday, September 04, 2008

To channel for my frustration..

Tanggal 26 Agustus kemarin ayah saya jatuh sakit. Sayangnya saya baru mengetahui berita sakitnya hari Minggu, 30 Agustus. Agaknya, sakitnya kali ini cukup serius karena dia terpaksa menginap di ICU selama 4 hari. Saat menerima kabar tersebut, saya sedang dalam perjalanan menuju untuk datang ke Festival Indonesia sekalian bertemu dengan kawan-kawan. Setelah menutup telepon, saya tidak bisa berpikir jernih. Telepon genggam saya yang mendadak hang pun jadi sasaran saya. Saya beruntung karena sedang bersama Lucky. Dialah yang memungut telepon saya dan memperbaikinya sampai bisa saya pergunakan lagi. Tolol dan kekanakan memang. Tapi saat itu saya sedang merasa cemas dan sedih. Cemas kalau-kalau kondisi ayah saya menurun. Saya mengkhawatirkan hal terburuk yang bisa terjadi. Sedih karena saya jauh dari rumah. Saya tidak bisa melihat sendiri keadaannya. Saya tidak bisa mencium dan memeluknya. Saya hanya bisa ketakutan. Seribu what ifs mengisi kepala saya.

Ayah saya memang bukan manusia sempurna. Who is, anyway? But he is the best dad I can ever ask for. Dia punya kapasitas besar dalam mencintai. Dulu, saya termasuk orang yang sangat tertutup dan merasa pantang menunjukkan emosi. Dialah yang mengajarkan saya untuk lebih terbuka. Lebih ekspresif dalam menunjukkan perasaan. Dia sering memeluk saya dan mengajarkan banyak hal melalui ucapan dan tindakannya. Saya bisa merasakan kasih sayangnya yang tulus walaupun kadang-kadang caranya luar biasa nyentrik. Kata-katanya jarang sekali terdengar manis di telinga. Lebih sering terdengar sebagai sindiran pedas. Apalagi dia juga keras kepala dan sering bertingkah semaunya sendiri. Dialah mentor saya. Partner berdebat terbaik yang pernah saya temui. Dia bisa mematahkan semua argumen saya tanpa membuat saya merasa kalah. Dia mengajarkan bahwa menjadi manusia rasional tidak berarti harus kaku dan arogan. Menjadi manusia seutuhnya yang bisa merasa dan menghargai kehidupan adalah cita-cita yang harus dikejar.

Saya merindukan dia. Saya ingin berada di rumah dan memarahinya karena tidak bisa menjaga kesehatan. Saya ingin membuatnya mengerti bahwa inilah saatnya menikmati hidup. Saya ingin mengatakan banyak hal padanya. Bahwa saya menyayanginya. Bahwa saya sedih mendengarnya sakit. Bahwa saya frustrasi tidak bisa berada di sampingnya.

Saya sudah berusaha menelponnya di hari Minggu. Tapi mendengar suaranya saja saya sudah tidak tega. Telepon terpaksa saya tutup dalam waktu kurang dari 5 menit. Untuk sementara, sepupu sayalah yang harus jadi pewarta berita kemajuan kesehatan ayah saya. Tapi akhirnya, semalam saya beranikan diri menelpon ke rumah. Setelah mengobrol dengan ibu saya, gagang telepon pun dialihkan pada ayah. Kami bicara sebentar sementara saya berjuang menahan emosi. Ketika telepon sudah kembali dialihkan pada ibu, saya pun tidak sanggup menahan diri. Ini adalah kali kedua saya menangis tahun ini. Rasanya aneh. Menangis di telepon. Ibu saya yang kebingungan pun berusaha menenangkan saya. Dia pun akhirnya meminta ayah saya untuk bicara dan membujuk saya supaya saya tidak lagi cemas dan menangis. Tapi saya tidak bisa. Tangis saya semakin tidak terkendali saat mendengar ayah saya mengatakan bahwa ia menyayangi saya dan meminta saya agar tidak mencemaskannya. Tapi bagaimana bisa? Dia belum pernah sakit seserius ini. Dan yang paling membuat frustrasi adalah fakta bahwa saya jauh dari rumah. Bagaimana saya bisa tenang?

Apakah saya egois? Ah, tapi saya tidak peduli. Dia adalah ayah saya dan saya mencintainya. Saya tidak ingin ada hal buruk terjadi padanya seperti juga dia yang tidak menginginkan hal buruk terjadi pada saya. Tapi apa daya saya? Kenapa berdoa saja rasanya tidak cukup? Kenapa saya masih saja melelehkan air mata?