layar yang bisu dan tanpa daya menjadi tempat yang tepat untuk tumpahkan semua. objek yang tidak akan pernah jadi subjek. tanpa komplikasi. tanpa kompromi. sesederhana itu.

Thursday, August 24, 2006

Ada Pengemis dalam Diri Orang Indonesia

Ada pengemis dalam diri setiap orang Indonesia

Saya jarang menonton reality show Indonesia. Saya tidak menyukai ide mengeksploitasi kemiskinan, memberi bandrol harga pada air mata dan menjual kesedihan. Sebenarnya semua tema itu manusiawi sekali untuik diangkat tapi tentu saja harus dari sisi yang lebih baik. Mengapa tidak ditonjolkan pergulatan subyek dan memberi porsi lebih sedikit pada bagian “here I come to save the day” untuk kemudian menertawakan kecanggungan subyek saat harus membelanjakan seluruh uang hadiah yang jumlahnya sangat besar untuk ukuran mereka? Yang selama ini terjadi kan sebaliknya.

Gara-gara bosan, saya asyik memindah-mindah saluran televisi hingga pada suatu saat saya berhenti pada sebuah acara yang menurut saya unik: idol­-nya para penari. Tapi yang membuat saya kemudian menjadi sebal dan kembali menggerutu adalah pada saat profil kontestan ditayangkan, semua kontestan menceritakan ketidakberuntungannya selama ini, kesulitan ekonominya, pokoknya yang mengharubiru, mengundang kasihan banyak orang sehingga menimbulkan kesan bahwa penonton harus ikut membantu mereka mengatasi kesulitan hidupnya dengan mengirim SMS sebanyak-banyaknya. Kesannya tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan semua penderitaan kontestan selain memenangkan kontes tersebut. Saya jadi teringat kisah Veri AFI 1 dan Delon Idol. Bukankah mereka menang dengan MO yang sama? Mungkin memang tidak dikemas seperti saat ini. Saya ingat, saat Kontes AFI 1 sedang berlangsung, ada tabloid wanita yang mengangkat profil keluarga para finalis, termasuk keluarga Veri yang sederhana. Berkat profil itu, Veri pun memperoleh banyak simpati. Dan: MENANG! Padahal kita semua tahu betul kualitas suara Veri bila dibandingkan dengan lawannya saat itu, Mawar dan .... Nasib Delon mungkin lebih baik. Profil keluarganya baru diangkat setelah dia memenangkan kontes menyanyi tersebut. Sebenarnya liputan tentang Delon bisa dikategorikan sebagai cerita sukses, namun tak bisa dipungkiri, popularitasnya sebagai runner-up pun semakin melambung berkat publikasi tersebut. Dua kondisi inilah yang tampaknya dicermati pengelola program sehingga akhirnya, semakin lama, reality show Indonesia pun dikemas sedemikian rupa hingga terasa mengiba-iba demi meraih sebanyak mungkin simpati.

Saya tidak menuding kontestan, namun lebih menyayangkan kebijakan yang diambil pengemas program untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Coba bayangkan berapa penghasilan yang diperoleh provider dan pengelola program dari SMS yang dikirim penonton di rumah? Provider dan pengelola program tidak peduli siapa yang menang. Banyak SMS berarti banyak keuntungan. Terpikirkah mereka bahwa penonton pun sebenarnya sudah memiliki banyak persoalan? Bahkan mungkin sedang dihadapkan pada persoalan yang lebih pelik dari para kontestan? Tidakkah acara-acara ini kemudian mengajarkan pada banyak orang untuk memanfaatkan rasa kasihan dan simpati untuk mencari keuntungan? Ataukah sebenarnya acara ini adalah cermin bahwa sebenarnya ada pengemis dalam diri setiap orang Indonesia?

Setelah Sekian Lama

Sudah lama meninggalkan halaman ini karena sedang disibukkan oleh banyak hal. Bukan alasan yang bagus, memang, tapi ternyata saya sadar saat ini saya sedang dalam pencarian diri yang melelahkan. Hm, terdengar seperti anak remaja ya? Sebenarnya saat ini saya sedang melakukan renegosiasi dengan lingkungan saya. Ada orang-orang baru yang datang sehingga muncul tanggung jawab sekaligus hak-hak baru. Tidak terlalu serius memang, tapi ternyata dalam banyak hal saya terpaksa duduk sebentar dan berpikir lagi. Dimana saya harus menempatkan diri? Mampukah saya memenuhi ekspektasi lingkungan? Sebanyak apa saya bisa memberi dan sebanyak apa saya mampu menerima?

Saat dunia sibuk menonton Israel mengobrak-abrik Libanon, saya malah sibuk mengobservasi lingkungan sekitar saya. Mulai dari melihat sendiri kecentilan bapak-bapak paruh baya yang jauh dari isteri, mengagumi seorang pria yang cerdas dan menarik tapi kemungkinan besar tidak akan pernah bertemu lagi, sampai sibuk mengikuti kabar Nadine di ajang Miss Universe yang heboh itu via radio dan internet. Oh ya, satu lagi, saya juga asyik mengomentari kebodohan berulang, karena menurut saya, Miss Japan lebih keren daripada Miss Puerto Rico dan Miss dari Sulut itu kalah jauh dari Miss Maluku Utara, ya kan? Tapi, siapa sih saya? Saya kan bukan Wimar Witoelar atau Jay Subiyakto... Asal jangan sampai menyebut Mother Theresa is my admirer because I’m Westernize in a beautiful city named Indonesia di ajang internasional saja...

Tapi ternyata bukan saya sendiri yang lama tidak lagi menengok halaman tulisnya. Sebenarnya saya penikmat halaman Who Do You Think He Are, tapi tampaknya karena alasan tertentu, membuat halaman itu pun lama tak ditulisi gunjing dan sindir terbaru lagi. Akibatnya, saat ini saya tidak tahu gosip selebriti, hiks...

Saya adalah orang yang suka merencanakan banyak hal. Saya tidak suka keadaan tidak memiliki kontrol. Contohnya, saya tidak suka membonceng sepeda motor karena saya sendiri tidak bisa mengendarai sepeda, apalagi motor. Saya juga tidak suka bergantung pada orang lain. Saya benci saat harus pasrah dan sabar. Padahal saya tahu betul, dalam hidup selalu ada faktor X yang berada di luar jangkauan dan kuasa saya. Ada saatnya saya harus bisa menerima keadaan. Seperti saat ini. Saya sedang menunggu sesuatu yang memang saya inginkan sejak dulu. Semua hal yang bisa saya lakukan saat ini sudah saya lakukan. Termasuk menunggu. Entah sampai berapa lama lagi. Dan saya tidak suka itu.

Membaca kembali tulisan ini dari awal membuat saya tertawa sendiri. Kok isinya keluhan semua ya? Hahaha, tapi mungkin inilah ciri khas manusia, keep complaining all the time... semoga lain kali saya bisa menulis sesuatu yang lebih positif

Inside The Iron

My mended heart got broken

And for the thousandth time I try to embrace it
Try to learn from it
Try to be positive about it

But it just to darn hurt!

Tears won’t fix it
A warm big bear hug won’t do it

What do you want, people?