layar yang bisu dan tanpa daya menjadi tempat yang tepat untuk tumpahkan semua. objek yang tidak akan pernah jadi subjek. tanpa komplikasi. tanpa kompromi. sesederhana itu.

Sunday, April 30, 2006

Hari Ini Kau Pergi ke Karet

Pergi sudah bersama pagi Kau guruku
Bersama tangis langit yang menderas di sini
Mengikut usul Kayam pergi ke Karet

Menyerah kalah tak pernah jadi sejarah Kau
Seperti pergi Kau hari ini
Tuliskan untukku kisah manusia, dunia kehidupan dan dunia kematian
Sambil sisakan sedikit ruang untukku hempaskan pantat
Agar saat kutiba di sana suatu saat kelak
Bisa Kau ajari aku
Bisa Kau dongengi aku
Tentang gigi emas si cantik Midah
Dan bintang film masa revolusi, Ara
Tentang dirimu dan negerimu
Tentang kerjamu dan citamu
Tentang semua, semua dan semua


Kata Kau:
“Kalau mati, dengan berani; kalau hidup dengan berani. Kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing menjajah kita.”

Saturday, April 29, 2006

Ibuku pada suatu saat

Mata perempuan itu berkaca-kaca.
Anak perempuannya telah lama hilang. Pergi meninggalkannya sejak remaja untuk menjalani mimpinya sendiri.

Anak lelakinya sejak muda belia telah terpikat pada kehidupan di jalan dibandingkan meluangkan waktu bersama perempuan tua yang pernah melahirkannya.

Dulu sekali, saat suaminya masih hidup, dialah pusat perhatian dunia. Sejak suaminya mati di tangan matahari pagi yang datang terlalu cepat, hidup tidak lagi menyenangkannya.

Kejandaannya dengan segera menjadi penjara. Perempuan-perempuan menganggapnya saingan, perebut suami orang. Lelaki-lelaki menganggapnya penaklukan berikutnya. Entah tak terhitung banyaknya perempuan dan lelaki yang membencinya. Yang lelaki marah karena bujuk rayunya tak mendapat tanggapan. Yang perempuan marah karena lakinya melirik-lirik genit.

Ditelannya saja semua. Hidup harus berlanjut. Anaknya masih harus tumbuh. Seperti ingin almarhum suaminya.

Tapi hari ini hatinya luka.

Air mata pun akhirnya jatuh. Anak-anaknya datang dan pergi begitu saja. Ia merasa tak lagi berarti.

Hari ini hatinya luka. Teriris kata dan tingkah anaknya sendiri.

Hari ini hatinya luka. Terkenang masa indah bersama suaminya. Dulu sekali.

Hari ini hatinya luka. Sendiri merasainya.

Benih yang Gagal Ditanam

Buku-buku kaku di dinding berdebu
Memanggil, merayu, mengganggu
Lama melayu tak laku-laku
Kutu-kutu pun datang menyerbu
Aku tunggu hingga terlalu
Sedih sesal tak gantikan malu
Hilang kini satu persatu
Guru sejati dari masa lalu

Friday, April 28, 2006

sejak lampu berganti merah

Senyum tersungging di bibir tipis yang berlapis gincu
Diusapnya peluh yang membasahi wajah
Caci maki, cibiran mengejek dan tatapan jijik sudah biasa dihadapinya
Klakson mobil memaksanya menepi
Menunggu di pinggir
Seperti cerita hidupnya selama ini


Dipandanginya lalu lintas
Menatap dengan rasa ingin
Mencicipi kehidupan nyaman di balik kaca-kaca mobil yang nyaman
Sejuk dihembusi udara dari air conditioner
Seandainya saja...


Wajahnya kaku menatap ke muka
Ditulikan telinganya dari tawa kanak-kanak yang terus mengikutinya dari mulut gang tadi
Dilepasnya sepatu murah yang setia menemaninya 3 tahun terakhir
Pemberian sahabatnya yang sedang menunggu ajal
Karma, kata orang


Dibukanya pintu rumah
Pintunya sulit dibuka
Terhalang amplop-amplop yang diselipkan kurir
Tagihan telepon
Listrik
Air
Ah....


Segera ia pergi ke sumur
Menimba sedikit air untuk mencuci kaki, tangan dan wajahnya
Ritual hasil didikan ibunya di masa kecil
Hm, ibu...


Dia masuki kamar dan berganti pakaian
Lalu dihampirinya cermin
Menatap wajah lelahnya sendiri
Bersyukur hari ini ia tidak dirazia

Friday, April 21, 2006

poligami dan origami

beberapa akhir minggu belakangan saya habiskan dengan menonton film di bioskop. sempat juga saya tonton film Berbagi Suami yang dibuat apik oleh Nia Dinata. meski alurnya terasa lambat, tapi saya senang bisa menonton film itu bersama ibu dan sepupu. selagi menonton dan tertawa, saya dengarkan (dan kadang saya perhatikan ekspresi ibu saya di tengah kegelapan ruang bioskop) suara tawa ibu saya yang renyah. terasa lepas. ah, betapa saya senang menghabiskan waktu dengannya, menyaksikan kebahagiaannya. saya jadi berpikir, apakah ibu juga senang saat melihat saya tertawa, bahagia? semoga.

kami berdua tidak pernah sepakat dalam isu poligami. tapi kami menghargai pendirian masing-masing. menonton Berbagi Suami membuat kami kembali membuka perdebatan. meski kami sepakat untuk tidak sepakat, semua perdebatan panjang kami membuat kami semakin yakin pada pendapat masing-masing. saya pikir seni berdebat mirip dengan seni origami. argumentasi demi argumentasi diajukan untuk mempertanyakan sikap pribadi dan kemudian mematangkannya. seperti setiap lipatan tidaklah merusak kertas, karena secara sistematis lipatan demi lipatan pada akhirnya akan menemukan bentuknya.