layar yang bisu dan tanpa daya menjadi tempat yang tepat untuk tumpahkan semua. objek yang tidak akan pernah jadi subjek. tanpa komplikasi. tanpa kompromi. sesederhana itu.

Tuesday, November 21, 2006

test...test....

Yippee…
What a liberty!
(Well, at least until further notice)
I already undergone both of the two requirement tests
I do not know how well I did it
But I think I have done it well

Luckily though,
I learned new things form the experience
No, not about the test or the logic of the US’ system of education
But about the people who took it

Yes, it includes me

From the first time I arrived at the testing centre, I can see people in a various kind of panic state:

Some are like me
Just sit there and be the observer
Questioning what went wrong
Did I underestimate the test?
Or those people are just showing off their advanced preparation?

Some,
Try to catch up things with those who discuss their materials extensively
They invited themselves onto the discussion
Well, I can relate to these people
Since I felt the same urge (but my pride will not let me)

And the rest,
Those who interest me the most

I know, this is very personal
But do we have to do that?
I also realize that this is about my perspective
It is a mind game after all and from psychological point of view, I know their goals
And once again,
I have to prove the theory myself:
The biological age does not reflect the psychological age
We can not simply generate the level of maturity from the number of our age only

And maybe,
Others will say the same thing about me

libur

Ah, saya betul-betul menikmati hari ini
Benar-benar waktu yang tepat untuk bersantai
Mengistirahatkan otak, tubuh dan hati
Berenang sejak pukul 07.00 pagi hingga akhirnya matahari terasa mulai membakar
Kami pun sarapan-makan siang (apa sih terjemahan brunch?) di Tebet sekitar pukul 11.00
Dan setelah itu, setelah menahan kantuk karena harus menyetir,
Saya pun langsung pulas tertidur!
Nikmatnya…

Besok?
Kerja keras lagi...

Saturday, November 18, 2006

perjuangan masih panjang

Akhirnya tubuh saya komplain. Setelah saya memperoleh suntikan vitamin c dosis tinggi dua hari lalu, sekarang giliran perut saya yang unjuk rasa. Tiba-tiba saya terserang diare. Rasa tidak enak di ulu hati ini mulai mengganggu sejak saya masih duduk di ruang ujian dan mengerjakan soal-soal TOEFL

Saat pulang, saya berharap tidur siang akanmembantu menghilangkan rasa tidak nyaman ini. Tapi ternyata, saya justru tidak bisa tidur lelap karena gangguan perut yang memaksa saya terjaga setiap beberapa saat. Belum lagi, perasaan perih dan mual ini pun diikuti dengan diare. Ah, sebal sekali.

Sorenya, ibu saya pun memaksa pergi ke dokter. Hasilnya, saya pun disuntik antibiotik untuk mencegah rasa mulas, mual dan diare. Dan bagian yang paling menyebalkan, ada 5 macam obat yang harus saya minum setiap hari (dengan frekuensi yang berbeda-beda dan instruksi konsumsi yang berbeda pula). Padahal, 2 jenis vitamin dan obat flu yang diberikan dokter di hari Kamis pun masih harus saya konsumsi supaya flu tidak mengganggu.

Gara-gara obat yang harus saya makan demikian banyak, saya jadi teringat pengalaman masuk rumah sakit tahun lalu. Benar-benar menyebalkan. Untungnya, karena saat ini saya tidak perlu opname, saya tidak perlu khawatir dengan ritual perawat setiap pagi: mengganti tempat tusukan jarum infus dari satu tempat ke tempat lainnya agar nadi saya tidak bengkak. Betul-betul perjuangan.

Semoga saja obat yang saya tebus dengan mahal baik secara ekonomis maupun psikis ini bisa menjauhkan segala gangguan ini hingga Senin. Hah… saya akan terus menyilangkan jari saya…

dari pemakaman pak dendi

dear all,
Pak Dendi bukan dosen wali saya. meski saya tidak intens berkomunikasi dengannya, satu hal yang saya perhatikan, beliau selalu tenang dalam segala situasi, tidak banyak bicara dan murah senyum. oh ya, saat kuliah dulu, saya dan beberapa kawan perempuan seringkali membayangkan betapa gantengnya beliau saat muda karena bahkan di usia senjanya pun beliau masih tampak keren.
saat saya datang ke rumah duka dan datang ke acara pemakamannya keesokan harinya, tidak ada satu pun ingatan negatif tentang beliau terselip dalam pembicaraan. ada yang mengingat pengalaman melihat Pak Dendi berjualan wayang kertas sambil berteduh di bawah payung saat pasar seni ITB. ada juga yang mengenal Pak Dendi sebagai perokok berat (sebuah fakta yang cukup mengejutkan saya, karena saya tidak pernah melihat almarhum merokok), Pak Dendi yang aktivis mahasiswa hingga Pak Dendi yang mengajar di banyak tempat. menurut keluarga dekatnya, kegiatan perkuliahan selalu jadi subjek favorit perbincangannya bahkan saat pertemuan-pertemuan keluarga. juga sempat seorang teman menceritakan komentar seorang widya iswara saat prajabatan beberapa bulan lalu tentang seorang Dendi Sudiana: dia itu seniman sejati, saya saja heran saat dia memutuskan untuk menjadi guru!
siapapun Pak Dendi bagi masing-masing kita, ada satu hal yang diungkap Prof. Deddy Mulyana dalam perjalanan menuju Rancacili, tempat peristirahatan terakhir Pak Dendi. "Inilah yang dicari semua orang. saat pensiun dan meninggal, semua orang mengingat hal-hal baik yang kita lakukan." ditambahkannya lagi, "Pak Dendi itu orang baik. tidak pernah bicara buruk tentang orang lain."
kebiasaan Pak Dendi yang banyak diam dan tidak pernah mengeluh bahkan saat sakitnya pun diungkap oleh keluarga beliau. di mata keluarga besarnya, Pak Dendi tidak pernah membantah, bahkan terhadap istrinya.
sekarang Pak Dendi sudah beristirahat tenang di Pemakaman Muslim Rancacili. tempatnya beristirahat kebetulan tepat di bawah pohon yang cukup rindang. "Dia beruntung," kata Prof. Deddy Mulyana. Namun, tetap terselip kekhawatiran tentang kemungkinan tanah pemakaman yang mudah longsor karena struktur tanahnya yang labil dan 'rutinitas' tahunan saat musim penghujan: banjir.
oh ya, dalam proses pemakaman, saya bangga pada Bhawika dan Chandra, putra kedua dan ketiga Pak Dendi yang terlihat tegar dan selalu menggandeng ibunya, kecuali saat mereka berdua menurunkan jenazah Pak Dendi ke liang kubur. Sayang, putra pertama beliau tidak bisa hadir di pemakaman karena sedang di Jepang.
begitulah.
Semoga Pak Dendi tenang di sana dan diterima amal ibadahnya.
amin.

Friday, November 17, 2006

kegilaan minggu ini

Minggu ini jadi minggu yang gila-gilaan. Sejak Sabtu, (11/11) lalu, jam tidur saya susut hingga hanya empat jam per hari. Semua dimulai dengan deadline penelitian yang jatuh di hari Rabu sementara seluruh bahan baru saya dapatkan Jumat, (10/11). Alhasil, saat orang lain berlibur, saya harus bekerja keras menyelesaikan penelitian supaya bisa segera diserahkan ke panitia. Syukurlah, semua urusan penelitian ini selesai di hari Selasa dan saya pun bisa berpaling pada deadline kerja lainnya.

Sebelum sempat saya mulai merencanakan kegiatan-kegiatan berikutnya, ternyata salah seorang dosen senior koma. Saya sempat menjenguknya di rumah sakit. Tapi tentu saja tidak bisa melihatnya langsung. Saya pun menyibukkan diri untuk membantu mencari donor darah untuk menambah jumlah trombosit di darah beliau. Ternyata rencana Allah betul-betul tidak bisa diduga. Pak Dendi pun meninggal saat kami baru saja menyelesaikan pengambilan darah dari donor terakhir. 10 kantung. Jumlah yang cukup banyak, tapi tak cukup cepat untuk bisa diberikan pada Pak Dendi. Akhirnya, malam itu pun saya habiskan di rumah duka sambil merencanakan untuk menghadiri pemakaman keesokkan harinya bersama beberapa teman.

Sebenarnya hari ini, Jumat, (17/11), saya menjadi salah seorang panitia Musyawarah Nasional di Bandung. Alhasil, sejak Senin saya pun sudah berkejaran dengan beragam tetek bengek yang harus saya persiapkan. Apalagi, justru di hari H ini saya akan absen hadir. Mau tidak mau, sebelum saya berangkat ke Jakarta, semua urusan harus sudah saya pastikan kesiapannya, termasuk urusan merayu ketua panitia dan ketua IMPPU soal anggaran belanja divisi saya. Untungnya, saya punya teman yang bisa diandalkan untuk mengeksekusi di lapangan sehingga setelah saya pastikan ia mengerti garis besar pekerjaan yang diinginkan, saya bisa bernapas lega. Hingga kemarin, Kamis (16/11), saya masih harus stand by di kampus dan mengusahakan beberapa hal. Tak lupa, saya harus berpamitan dengan penuh ketidakenakkan karena harus meninggalkan tanggung jawab saya. Untunglah teman-teman tampaknya mengerti.

Di sela-sela dua kegiatan besar dan pemakaman itu, saya pun dikejar deadline lain sehingga saya tidak bisa lepas dari akses internet. Karena keperluan inilah, saya harus merelakan jam-jam tidur saya untuk terus meng-up-date informasi. Jadilah saya ini merasa jadi orang yang sok sibuk. Apalagi, minggu ini saya merasa sedikit kesulitan untuk fokus. Hmm, mungkin karena ada banyak hal yang harus saya lakukan secara bersamaan.

Kegilaan ini mencapai puncaknya tadi malam. Setelah menyelesaikan urusan di Bandung dan mendelegasikan pekerjaan pada teman-teman, saya pun menyetir ke Jakarta untuk segera menyambangi dokter keluarga. Saat ini saya sudah terserang flu, dan karena besok dan Senin (20/11) saya harus berjuang, maka saya pun memaksakan diri disuntik vitamin supaya saya bisa tetap fit di hari-hari itu.

Pulang dari rumah sakit, saya pun langsung menghidupkan komputer dan menghadapi aplikasi on-line yang harus saya lakukan. Ternyata, di sinilah kesabaran saya diuji. Proses aplikasi yang seharusnya sederhana dan tidak banyak buang waktu akhirnya harus berjalan hingga hampir 7 jam karena koneksi internet yang tidak baik. Tampaknya ada masalah dengan server program karena ketika saya menyusuri halaman web lainnya saya tidak mengalami masalah. Saya sudah putus asa semalam, hingga saya pun memberanikan diri mengirim e-mail untuk menginformasikan kendala teknis yang saya hadapi. Berharap administrator program mengerti keterlambatan pengiriman aplikasi on-line saya.

Setelah pukul empat pagi, saya putuskan untuk tidur sebentar karena sulit sekali berkonsentrasi, apalagi emosi sudah di titik terendah. Hari ini, setelah sepagian mencoba dan masih tidak berhasil, saya putuskan untuk keluar rumah sebentar dan mencoba lagi kemudian. Ternyata berhasil. Meski ada banyak hal yang saya rasa tidak sempurna saya putuskan untuk segera saya submit karena khawatir saya telah melampaui tenggat waktu. Fiuhhh, akhirnya…

Kegilaan minggu ini masih belum berakhir. Malam nanti saya berjanji untuk hadir di acara resepsi pernikahan kawan dan setelahnya saya harus mencari lokasi ujian daripada besok pagi saya membuang banyak waktu hanya untuk mencari lokasi.

Dan tentu saja tes-tes itu sendiri. Saya akui saya panik. Kepala saya mengingatkan perlunya untuk tetap tenang, tapi hati saya tidak bisa berbohong. Tapi tak apalah, seperti ucapan saya pada Prof. Deddy beberapa hari lalu tentang betapa demandingnya skema beasiswa sekarang (menurutnya, dulu tidak se-demanding ini): no pain no gain.

Argggh, benar-benar minggu yang luar biasa. Betul-betul menguras emosi dan fisik. Jadi ingat satu lirik lagu yang dinyanyikan Ronan Keating, life is a rollercoaster…
Jadi penasaran, minggu depan seperti apa ya?

Monday, November 13, 2006

Bandung, Jakarta? Bandung, Jakarta?

saya jatuh cinta pada Bandung karena kegairahan yang ditawarkannya 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. oh, ralat. 5 hari seminggu. soalnya saya sebal pada kekacauan Bandung di tiap akhir minggu. dan hari ini, saat saya sedang memanfaatkan akses internet gratis di salah satu tempat berkumpul di dago, saya kembali terbawa dalam kegairahan itu.

duduk sendiri sambil membuka email dan menyesap secangkir teh hangat dan semangkuk sup membawa saya pada dimensi lain. saya sangat menyukai posisi kesendirian dalam keramaian saat ini. menjadi penonton teater hidup di sekeliling saya. saya memang sedang menunggu kawan, tapi waktu menunggu yang lebih dari 2 jam tidak membuat saya jemu. suatu kontradiksi mengingat saya ini orang yang malas menunggu dan lebih suka ditunggu, hahaha... saya menikmati atmosfir tempat ini. orang-orang asyik dengan aktivitas prbadi maupun sosialnya tanpa saling mengganggu. tanpa saling menghakimi. keadaan lalu lintas yang tidak padat dan pilihan makanan yang tidak terlampau mahal sangat cocok dengan semangat kaum muda yang mendominasi dan menghidupi kota Bandung. kalau di Jakarta, saya tidak menemukan atmosfir ini. dan yang pasti, saya harus merogoh kocek lebih dalam untuk melakukan aktivitas yang sama.

tapi seperti biasa. saya ini kan manusia yang selalu mendua. meski saya mencaci Jakarta, saya tetap menikmati hidup saya yang "in-between." biarpun Jakarta menyebalkan, saya selalu kembali setiap akhir minggu. mungkin juga sebagai upaya pelarian dari kondisi semrawut Bandung setiap Jumat, Sabtu dan Minggu. atau mungkin karena "rumah" saya disana. entahlah, tapi saya menikmati bercabangnya hati saya.

Thursday, November 09, 2006

...

Tahukah kamu kalau aku cinta kamu untuk mengelabui sekaligus memenjaramu
Ataukah justru aku yang terkurung dalam sihir hadirmu

Menatapmu bawa lagi debur-debur yang kupikir sudah lalu
Menghilang di tengah samudera untuk selamanya damai terhempas tanpa rindu pada pantai

Mendengarmu ingatkan aku pada sejuta kisah favorit tentang manusia dan kemanusiaannya
Mengembara ke ujung tersembunyi sisi tergelap yang selama ini selalu tawarkan kamu pada hatiku

Kamu kembali menyelinap untuk kemudian menyergap merangsek tanpa malu-malu sambil tiupkan angin kebimbangan yang membadai hebat menghantam fondasi-fondasi keras membatu

Aku berpegang bertahan dalam angkaramu mengobar berharap akan lalu

Kamu-aku berkelit dari waktu