layar yang bisu dan tanpa daya menjadi tempat yang tepat untuk tumpahkan semua. objek yang tidak akan pernah jadi subjek. tanpa komplikasi. tanpa kompromi. sesederhana itu.

Friday, October 28, 2005

sick of being sick

tes darah lagi
kita harus cek kondisi ginjalnya dulu
tes feces lagi
kita harus yakin kalau pencernaannya udah baik
ditusuk-tusuk lagi
ah, ini venanya udah bengkak, jadi dipindah aja ya?
obatnya belum masuk semua
tiduran lagi
kepalanya jangan gerak ya, nanti hasil scannya ga bisa dijadikan rujukan dokter

sakit kepala lagi
keringet dingin lagi
minum obat lagi
nonton tipi lagi
baca buku itu-itu lagi

capek ah!

Sunday, October 23, 2005

Semua Karena Seno

Lintang sudah lama pergi. Berburu senja ke Uluwatu katanya. Entah sudah berapa kali dia pergi ke sana, selalu dengan alasan yang sama.

“Senja di atas tebing Uluwatu adalah senja yang paling cantik,” katanya suatu ketika. Disodorinya aku selembar foto hasil jepretannya.

Jingga memonopoli gambar itu. Tampak buram di bagian depan: sekelompok penari membawakan kecak. Itulah karya khasnya. Senja selalu tampil sebagai pemeran utama. Bahkan gerak indah milik penari yang gemerlap dibasahi keringat, tidak pantas menggantikan peran senja dan harus rela untuk sekadar jadi figuran.

Di kala lain kuajukan pertanyaan yang selamanya akan kuingat, “kenapa harus senja, Lintang? Banyak orang pergi jauh untuk menikmati fajar. Bangun lebih pagi dan melihat surya mengintip di balik tirai mega-mega. Kita bisa melihat senja setiap hari.”

“Ah, begitu juga fajar, Niken. Kita bisa melihat fajar tiap hari. Aku tak bisa jelaskan alasanku jatuh cinta pada senja. Tapi sejak Seno mengenalkannya padaku, aku tak bisa berpaling lagi. Aku terbius. Sama halnya seperti kau yang tidak bisa menjelaskan kenapa tetap saja kau pakai kaos bututmu itu setiap malam, padahal ada banyak kaos lain yang bisa kau pakai tidur.”

Aku tersengat. Ini kan dua hal yang berbeda. Kecintaanku pada kaos Mickey-ku masih lebih bisa dijelaskan dibandingkan dengan obsesi Lintang pada senja. Tapi aku diam saja. Daripada nanti aku harus panjang lebar berdebat dengannya.

Kumasuki kamar Lintang. Kumanjakan mataku untuk menikmati hasil buruannya selama ini. Ada jingga di Ujung Genteng, merah saga di kompleks pertambangan batu bara di Borneo, dan beberapa senja lagi yang ditangkap dan dipenjarakan Lintang dalam kertas foto berukuran besar. Tapi yang paling menyihir adalah bingkai di seberang tempat tidur. Delapan senja hitam putih di Uluwatu. Untuk Seno, judulnya. Ah, Lintang, dimanakah kau?

Tidak seperti biasanya, kali ini Lintang sudah pergi beberapa hari lebih lama. Teleponnya pun sulit dihubungi. Bude Indri, ibunya Lintang, sudah berkali-kali meneleponku untuk menanyakan kepulangan Lintang.

Riana, teman kantornya, sudah menanyakan kepastian Lintang masuk kantor. “Ada liputan ke Merauke, Lintang pasti suka,” kata Riana di ujung telepon.

Lintang memang senang pergi liputan ke pelosok. Supaya bisa berburu senja-senja yang belum terjamah, katanya.Ternyata kesenangannya ini juga menyenangkan rekan-rekan kantornya. Hasilnya, liputan ke daerah-daerah terpencil hampir selalu dimonopoli Lintang.

Aku bingung. Dimas, teman seperjalanannya kali ini juga tak bisa kuhubungi. Kukontak kakakku yang tinggal di Jimbaran, tapi Mbak Wid juga sudah beberapa hari tak bertemu Lintang. “Mungkin Lintang ketemu senja yang lebih cantik dan keasyikan. Sabar saja Ken. Mungkin besok dia pulang ke Jakarta,” jawab Mbak Wid dua hari lalu.

Dan sekarang, aku termangu di jendela kamar Lintang. Di luar sana, matahari yang kelelahan sudah menarik selimut kelabunya, dan meninggalkan senja seorang diri.

Ah, senja, kenapa kau harus seorang diri sekarang? Bukankah Lintang menemanimu di ujung bumi yang lain?

Saturday, October 22, 2005

Idle Brain

Kubiarkan otakku kosong
Lalu kuisi batok kepalaku dengan membran-membran baru
Kota kumuh, lidah berbisa, orang buruk rupa
Semua kuajak serta

Kubiarkan otakku kosong
Lalu kubercinta dengan liar tak peduli kiri-kanan
Lembar kosong, bara hati, debu-debu di bawah karpet
semua yang sembunyi-sembunyi
tak mungkin terlewatkan

Kubiarkan otakku kosong
Lalu nikmati surga merah biru
Ditemani secangkir canabis panas
Dan arwah irama milik Duke Ellington

sirkus

Kata-kata jungkir balik jumpalitan
Terjun bebas mengalir deras tanpa batas

Kata-kata jungkir balik jumpalitan
Keluar masuk tanpa ketuk pintu-pintu dulu

Kata-kata jungkir balik jumpalitan
Tanpa dosa bikin merah pipi-pipi

cermin masa lalu

Cium pipi kiri
Cium pipi kanan
Mengejar kabar
Membagi cerita
Diselimuti kabut abu-abu
Dari balik gincu warna-warni
Ternyata waktu sudah terbang jauh-jauh hari
Menyisakan remah-remah di halaman belakang

Friday, October 21, 2005

Pertanyaan Usang yang Tidak Pernah Lapuk Dimakan Waktu

Pulang dari berkunjung ke rumah-rumah teman. Lalu menemukan pesan yang kurang lebih mirip dengan lagunya Ahmad Dhani:
Bila surga dan neraka tak pernah ada
Masihkah kau bersujud kepadaNya?

Kemudian terselip usul agar pertanyaan itu lebih baik diganti dengan:
Apakah Tuhan itu ada?

Sebenarnya pertanyaan itu ada sejak jaman dulu kala, hingga melahirkan agama dan filsafat, namun jawabannya masih belum memuaskan banyak orang hingga detik ini.

Apakah kita meyakini Tuhan itu ada? Kalau ya, akan muncul pertanyaan lanjutan seperti: apakah keyakinan itu muncul semata-mata karena kerangka budaya dan/atau agama? Atau memang perjalanan intelektual dan spiritual (bukan religi, lho ya!) kita yang menemukan Tuhan? Kalau tidak, ya sudah. Jalani saja hidup menurut definisi sendiri, tidak perlu merisaukan surga, neraka, pahala atau dosa.

Gelisah itu perlu, karena itu tandanya kita masih hidup. Tapi pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh masing-masing hati. Karena urusan ini ada di wilayah yang sangat pribadi.

Dalam perjalanan hidup yang singkat ini, saya beberapa kali menemukan persimpangan. Kadangkala saya merasakan adanya sesuatu yang agung dalam hidup saya, sesuatu yang tak terdefinisikan tapi saya rasakan ada (mungkinkah itu Tuhan?), namun di saat yang lain saya meragukan (sesuatu yang agung itu) dan menganggapnya sebagai bentuk kekalahan indera dan logika saya dalam memaknai kehidupan.

Saya ingin menjalankan segala sesuatu dengan usaha terbaik. Proses terbaik. Kalau hasilnya tidak seperti harapan, artinya ada banyak hal yang masih harus saya pelajari dan perbaiki agar bisa berbuat lebih baik. Begitu juga dalam berhubungan dengan sesama. Hati nurani yang jadi pemandu. Bila berhasil melakukan sesuatu yang baik, minimal menurut ukuran diri sendiri, biasanya saya merasa senang, puas. Itulah pahala menurut versi saya. Kepuasan pribadi saat berbuat baik. Bila nanti ternyata ada hari penghakiman, seperti yang dikatakan kitab-kitab suci, saya akan memandang hari itu sebagai verifikasi keyakinan agama. Mungkin pahala (dan dosa) versi saya bisa dikonversi ke versi agama. Dan kepuasan batin yang berhasil dikonversi ke dalam pahala versi agama adalah bonus dari rasa senang dan puas saya saat berbuat baik. Kalau tidak? Ya sudah. Que sera-sera.

Bagaimana?

a lesson from carnivale ep.24

Card Reader on her view of travelling with the carnivale bunch:
all the people in these towns are asleep.
they go to work, get home.
they're sleepwalker.
we wake them up.

are we sleepwalkers?
am I?

Thursday, October 20, 2005

absen

hari ini kutinggalkan logika di rumah.
lalu kukecapi bara kata-kata keluar masuk membelai-belai lidahku,
dan kubiarkan seluruh kulitku bercinta dengan cambuk-cambuk matahari,
dan kunikmati telingaku menangkap segala bunyi rahasia di balik pintu,
dan kulepaskan hidungku untuk baui serta hisap candu pencipta segala fantasi,
dan kuijinkan mataku melahap sekaligus mengundang semua yang terlarang juga tabu.

hari ini kutinggalkan logika di rumah,
supaya bisa kubunuh nabi-nabi adat tata krama.

Wednesday, October 19, 2005

perfection on sale!

hi, you're the new neighbour, right? we haven't met since your first day here. I just got back from a great journey. visiting the islands of everymen to find a perfect place to live.

first I sailed and find the island of hope. I landed with great expectation of finding a boost of cheer, yet the island exceeded it. laughter and happy faces are everywhere. it scattered along the way. I wondered, is this island really that great?

so I stayed there for a couple of days. everything was perfect. the people (always happy), the island(always clean and neat), the weather (clear sky, not too cold, not too hot). everything.

and suddenly I popped a question, "don't you all get tired of being perfect sometimes?" I didn't plan it. it just came out of the blue. and do you know what they said?

yup, you've got it right. "are you crazy?"

I don't think I can force myself to put on my happy face all the time, so I said to myself, it's time to go.

I've got myself a ride from a nice little fellow and asked her to stopped at the nearest island which famously known as stone island. she eyed me for a while but said nothing. I was curious.

as I stepped foot, I find myself wondering how different this island was. it's beautiful, dry, windy, and hot, like a desert with the sun on everyone's head. people there only talked a little and it seemed they've got an expression that fits them all. stoneface. but no one ever know why. they just are.

I thought, hey maybe this is the perfect place. people never bugged you with anything, I just have to mind my own life. but I stayed there for only a couple of days, because I frustrated already. I felt nobody ever noticed that I was there and that everybody was drown in their own self.

so I managed myself to get a plane ticket to the next island first day in the morning. maybe I'll find something fascinating. but I don't know what to expect.

the next island is called the metro. it's busy and noisy. people there has lots of things going on. they seemed to mind their own bussiness, yet still has time to stopped by and have a little chat with each other.

after 2 days I thought, hey, this is familiar to me.

so here I am. back to the life I once hate. where people really is human. some of them are idealists and others already sold their integrity. sometimes the weather's friendly, sometimes it's not. there are time when you're on top of everything, but occasionally you're at the bottom of the food chain. but that's life, right?

and tomorrow, I'm going to have a garage sale. would you come?

pardon?

oh, what I'm going to sale?

it's just something I don't need anymore. something called perfection.

Tuesday, October 18, 2005

Surat untuk Tuhan

Jakarta, 18 Oktober 2005.

Kepada Yth.
Tuhan
Singgasana paling besar, sebelah kiri kursi Nabi-Nabi
Langit no. 7, Surga.

Dear Tuhan,
Sekarang bulan baik. Kata pak ustadz harus kumpul banyak-banyak pahala di bulan baik. Saya mau tanya. Boleh nggak saya pinjam pahala dulu sekarang? Soalnya, pahala saya dikit, dan saya lagi perlu banget. Mungkin Tuhan lagi sibuk sama umat yang lain, tapi sebentar lagi hari raya. Semuanya harus raya alias besar. Tapi iman saya nggak raya karena di Jakarta lagi paceklik pahala. Saya malu ketahuan tetangga, teman-teman atau bahkan pak ustadz kalau ladang iman saya juga ikut terserang hama. Jadi Tuhan, boleh saya pinjam pahala dulu, supaya iman saya terlihat raya di hari raya? Terima kasih Tuhan. Cepat dibalas ya, dan semoga Tuhan berbuat baik. Karena sekarang bulan baik.

Jalan-Jalan

Kaki-kaki tapak pantai gelap hitam-hitam yang di depan. Angin-angin sayup-sayup bisik-bisik. Suara-suara yang kukenal panggil-panggil lalu ajak bicara-bicara. Kujawab-jawab namun minus wajah-wajah. Ombak-ombak datang pergi bawa botol-botol isi pesan. Kubaca-baca sampai akhir lalu kirim-kirim botol lagi. Sampai datang satu pesan: imagine a world without words.
…senyap…
Bulir-bulir asin jatuh terkait ruwet benang-benang.

Monday, October 17, 2005

pesan singkat

kutekan tombol-tombol
aku kangen, kata layar teleponku

kutekan tombol-tombol
aku tidak.

mati

satu lagi pergi mati
yang lain sedih isak-isak

satu lagi pergi mati
yang lain pakai wajah batu

satu lagi pergi mati
mungkin si mati akan ketemu wajah batu sedih isak-isakku.

*samson said,"when it comes to life, dead is the easy part!"

Sunday, October 16, 2005

dari gambir

“Permisi.”

Aku melirik sedikit sambil mengangguk sopan. Kugeser pantatku sedikit sambil ekor mataku mengamatinya. Harus kuakui ia tampan.

“Mau ke Bandung juga, mbak?”

Ganteng kok tolol! Sudah tahu ini kereta Argo Gede, masih tanya-tanya.

Tapi dengan senyum mengembang, mulut dan lidahku berkomplot untuk membuka dan bilang,”ya. Saya memang mau ke Bandung.”

Malas betul diajak ngobrol orang tak dikenal sementara semalam aku belum sempat tidur. Aku terpaksa lembur dan menginap di kantor demi presentasi siang ini di Bandung. Tiba-tiba saja, telepon genggam bututku yang sedari tadi terselip di saku jaket menjelma jadi benda paling penting saat ini. Padahal hingga semenit yang lalu aku masih memaki-maki teleponku itu sebagai benda paling tak ada gunanya. Faktor usia menyebabkan teleponku itu sering mati tanpa ijin. Tapi karena situasi darurat, kuambil teleponku dan pura-pura asyik memainkannya.

“Mbak ada urusan pribadi atau pekerjaan, di Bandung?”

Bukan urusanmu! Tapi sebagai orang timur aku harus menjawab,”ah, biasa, urusan pekerjaan.”

Dan kalimat itulah yang melompat dari bibirku.

“Kalau saya ada urusan pribadi, mbak. Pasangan saya kawin dengan orang lain. Gara-gara keluarganya yang nggak suka sama saya.”

Ah, sudahlah. Selamat tinggal waktu tidur. Tadinya kupikir perjalanan yang tiga jam ini bisa dimanfaatkan untuk sekedar mengistirahatkan mata. Ternyata, sekarang aku harus mendengarkan tragedi cinta orang asing.

Kusimpan lagi teleponku.

Pikiranku berkelana. Teringat wajah suamiku. Ah, betapa kucinta dia. Lalu terbayang percintaan kami dua malam lalu –mengingat semalam aku harus menginap di kantor. Luar biasa.

...

“dan yang menyakitkan perempuan ini sudah berumur. Katanya dulu keasikan kerja sampai lupa kawin. Padahal kekasih saya baru 35 tahun. Istrinya itu sudah hampir 45. Bayangkan! Bagaimana rasanya itu? Lalu saya ini dianggap apa? Saya juga ‘kan manusia.”

Tapi?

Kutelan pertanyaanku. Ini menarik.

Aku pasang mimik penuh simpati dan mencoba berpikiran terbuka. Kupikir, situasinya memang menyebalkan.

Di saat yang sama, sayup-sayup kudengar suara peluit dan kurasakan kereta mulai bergerak.

“Sabar saja. Segala persoalan pasti ada pemecahannya. It takes time,”kataku bijak.

“Mbak pasti sudah melalui semua urusan tolol seperti ini ya, mbak?”

“Kisah cintaku tidak romantis. Kami dijodohkan, tapi ternyata kami jatuh cinta. Sekarang kami menikmati perkawinan kami,” sahutku diplomatis sambil berusaha untuk tidak terdengar terlalu bahagia. Kurasakan hawa panas menjalar di pipiku.

“Tadi malam kekasihku datang. Katanya dia rindu. Tapi aku sakit hati. Katanya, istrinya ada pekerjaan penting jadi dia bisa mencuri waktu untukku. Aku benci jadi simpanan.”

Ah, tega betul kekasihnya. Kulihat matanya sudah berkaca-kaca.

“Kau harus bersikap,” kataku menguatkan,”salah satu harus melepaskan.”

“Makanya, aku sekarang ke Bandung mau ketemu Santi, istri Rusdi kekasihku itu yang sedang dinas di Bandung dan menceritakan hubunganku dengan suaminya. Aku tidak rela kekasihku jadi milik si perawan tua!”

Aku terperangah. Namaku Santi. Suamiku Rusdi. Umurku 43, suamiku 35. Kami baru saja menikah. Terlalu banyak kebetulan. Aku ingin muntah.

Saturday, October 15, 2005

my energizer

SOTR

Somewhere over the rainbow
Way up high
There's a land that I heard of
Once in a lullaby.

Somewhere over the rainbow
Skies are blue
And the dreams that you dare to dream
Really do come true

Someday I'll wish upon a star
And wake up where the clouds are far
Behind me
Where troubles melt like lemon drops
Away above the chimney tops
That's where you'll find me

Somewhere over the rainbow
Bluebirds fly
Birds fly over the rainbow
Why then, oh why can't I?

If happy little bluebirds fly
Beyond the rainbow
Why, oh why can't I?

Friday, October 14, 2005

kredit

sssst,
saya resmi berkenalan dengan makhluk paling terkenal dan paling digilai orang abad ini.
dulu sih baru sekedar tahu.
dan sekarang kami sudah bertukar identitas.
tapi biarpun baru kenal, saya berencana menjalin hubungan serius dengannya.
ayah ibu juga sudah merestui.
tinggal tunggu ijab kabulnya saja.

doakan ya,
semoga hubungan kami lancar
dan tidak ada pihak ketiga yang menggedor pintu menuntut tanggung jawab.

Thursday, October 13, 2005

lebaran kali ini

mestinya aku pulang
bawa sekarung oleh-oleh
sambil pamer hasil kerja di jakarta.

mestinya aku pulang
tapi sekarang ini
pulang tidak pernah bisa sederhana.

mestinya aku pulang
tapi pemerintah bilang lain
harga BBM harus naik, kata pak pejabat
yang namanya saja baru kali ini aku dengar.

mestinya aku pulang
tapi tukang warung di sebelah stasiun kereta tempatku kerja ikut menaikkan harga menu wajibku
sepiring nasi, sepotong tempe dan sedikit kuah sayur: 1500 perak.

mestinya aku pulang
tapi induk semangku datang tadi pagi dan merasionalisasi harga kamar petakku
harga-harga naik, katanya.

andai aku sekaya pak probosutedjo yang punya uang 6 milyar cuma untuk menyuap pejabat-pejabat di mahkamah yang konon agung itu.

coba aku seganteng anjasmara yang bisa jadi artis terkenal dan mengasah bakat seni sambil menyalurkan hasrat eksebisionisku lewat foto-foto seni bugil yang polos itu.

kalau saja aku terlahir jadi anak konglomerat yang bisa beli mobil mewah keluaran terbaru kapanpun aku mau dan bisa pamer keliling-keliling kota sambil melihat-lihat keramaian yang ada.

sayangnya aku cuma terlahir sebagai parmin yang tukang sapu stasiun.

sialnya aku cuma parmin yang dianggap kutu masyarakat tapi tidak layak untuk dapat kartu kompensasi BBM.

parmin yang anaknya pak joko dan mbok saripah,
yang sawah secuil hasil warisan terpaksa harus dijual murah karena aku 'kan harus ikut menyukseskan pembangunan,
yang pada akhirnya kutahu bahwa kontribusiku pada pembangunan berbuah mall megah di pinggir kota kecilku.

demi kemajuan.

biar menambah pendapatan daerah.

makanya,
biar mestinya aku pulang
aku tidak pulang.

senja yang ingkar janji

katanya senja akan datang menjemput
tapi mengapa kau malah sibuk menyongsong jingga?
asik berbedak, bergincu
menyulap diri di muka cermin.

katanya senja akan datang menjemput
tapi kau malah berlari
sembunyi di tiap singkap gaun indahmu.

menanti, menggoda
membuang lirik dan gelayut manja
hingga peluh berkedipan
mengkristal
lalu usai.

terselip bisik-bisik janji untuk jumpa di pekat yang esok.

lalu mulai lagi.

katanya senja akan datang menjemput
tapi mengapa kau malah sibuk menyongsong jingga?

Saturday, October 01, 2005

setelah air mata mama menetes

kesadaran menghantamku
ternyata hidupku bukan milikku
meski kutahu itu sedari dulu

betapa ilusi kemerdekaan telah memakanku bulat-bulat
betapa kasih sayang bisa menggerogoti

sedikit demi sedikit aku kehilangan kebebasan
untuk menjalani hidupku sendiri
untuk mengambil keputusanku sendiri

dan aku tak bisa mengelak
aku kalah telak

tolong, bantu aku
lepaskan aku
jangan ikat kakiku

september 2005

hatiku terbelah
ingin kumatikan saja rasa
tidak lagi didera kebingungan
tidak ada lagi kebohongan
menjerit sudah tidak ada guna
menangis pun aku tak sanggup
berpikir jelas tak mungkin lagi
hanya pasrah
menunggu
meski entah apa yang ditunggu.