layar yang bisu dan tanpa daya menjadi tempat yang tepat untuk tumpahkan semua. objek yang tidak akan pernah jadi subjek. tanpa komplikasi. tanpa kompromi. sesederhana itu.

Tuesday, October 31, 2006

mungkin hikmah Lebaran


Jumat, 20 Oktober 2006. Petang hari.
Permisi, ada kiriman
Sebuah amplop tipis dengan lambang yang sudah sangat saya kenal
Seketika rasa kecewa menyergap
Sambil berharap masih ada satu celah kesempatan

Ternyata benar
Saya ditolak
Dengan berat hati saya kabari orang-oang yang selama ini mendukung saya lewat pesan singkat demi menghindari mejawab pertanyaan yang sama berulang-ulang

Beberapa pesan singkat masuk ke kotak pesan saya tak lama kemudian
Semuanya bernada menghibur

Saya kecewa
Belum rejeki, pikir saya


Selasa, 24 Oktober 2006. Tengah malam.
Sebuah nama menarik perhatian saya
Ada surat elektronik dari orang yang telah menandatangani surat penolakan yang saya terima di hari Jumat
Isinya absurd
Ada perubahan status, katanya
Alasannya: ada penambahan dana
Oh ya?

Saya bangunkan ibu saya
Respon beliau biasa saja, maklum, waktu sudah tengah malam dan seharian kami sibuk menjamu sanak saudara
Kebetulan, sahabat menelpon untuk curhat
Jadilah dia pelampiasan emosi saya


Jumat, 27 Oktober 2006. Petang hari.
Emosi tidak lagi meluap-luap.
Kesadaran meninju saya tepat di titik ego
Mungkin selama ini saya terlampau percaya diri
Mungkin selama ini saya terlampau pongah
Mungkin ini cara Tuhan menegur saya
Mungkin Lebaran ini justru jadi peringatan buat saya
Setumpuk dokumen yang datang kemudian justru membuat saya merasa kecil
Sungguh ada kekuatan lain di luar sana
Dan Lebaran kali ini, saya harus membuktikannya sendiri.
Terima kasih. Semoga ini bisa jadi pelajaran yang akan melekat selamanya.

Sunday, October 15, 2006

and the clock is ticking

Baru saja pulang kumpul-kumpul dengan teman-teman kuliah dulu. Ngobrol ngalor ngidul dan bergosip tak berkesudahan. Tapi yang paling dominan tentu saja tema cinta dan perkawinan. Beberapa teman satu angkatan sudah menikah dan ada yang sudah punya anak. Sampai Januari tahun depan, setidaknya ada 4 teman lagi yang akan melangsungkan pernikahan.

Kebetulan dari 8 orang yang ikut mengobrol di Pizza Hut Tebet sore ini, 6 orang belum menikah, sementara yang dua adalah pasangan yang akan segera menikah di awal tahun depan. Ada dua paradigma dalam memandang rencana pernikahan kawan kami ini. Nina yang aktivis perempuan bertanya pada Amel, sang calon pengantin: kok lo mau sih kawin sama Syahid? Sementara Ruben bertanya pada Syahid: Lo dijebak pakai strategi apa sama si Amel? Masing-masing gender memandang rencana pernikahan dengan keberpihakannya masing-masing meski tujuan akhirnya sama: mempertanyakan alasan mereka berdua menikah.

Saat kawan saya Aco menanyakan mengenai kemungkinan pertimbangan status ekonomi sebagai salah satu klasifikasi memilih calon pasangan, saya pun dengan tegas menjawab: YA. Saya tidak peduli dengan cap materialistis yang akan dilekatkan pada saya, tapi saya pikir bohong besar kalau cinta adalah segalanya. Pengalaman masa lalu membuat saya menyadari bahwa cinta saja tidak akan pernah cukup. Karena cinta tidak akan bisa menyediakan makanan di meja. Karena cinta tidak akan memberi saya tunjangan kesehatan yang saya perlukan. Karena cinta tidak akan menghilangkan tekanan batin. Lalu Aco pun merespon: itu realistis namanya. Oh ya?

Minggu lalu saya menyempatkan diri untuk bertemu dengan sahabat-sahabat perempuan saya. Saya teringat kata-kata Nandy pada saya, “ah itu kan kepala lo yang bicara. Hati lo nggak mungkin menerima kondisi itu kan? Ah, gua lupa, lo kan nggak punya hati.” Hmm…

Jadi mana yang benar: realistis atau tidak punya hati? Saya mencoba untuk tidak terlalu memusingkan pendapat kedua teman saya itu. Meski demikian, tetap saja saya tergelitik.

Saya jadi teringat kedua orang tua saya yang tampaknya sudah mulai resah melihat saya yang masih asyik dengan diri sendiri dan belum ada tanda-tanda akan menikah segera. Yang menarik, keduanya menujukkan kegelisahannya dengan cara yang berbeda. Ayah saya pernah bertanya dan mencoba mendiskusikan topik ini dan tampak berusaha memahami pendapat saya. Sementara Ibu saya berusaha menunjukkan dukungannya pada saya, meski dalam beberapa hal tampak terlalu defensif, terutama di hadapan keluarga besar. Sikap defensifnya inilah yang membuat saya menyadari bahwa ia pun resah memikirkan saya.

Saya memang ingin menikah. Sesegera mungkin kalau bisa. Tapi di sisi lain, saya juga belum mau berkompromi. Tentang cinta, tentang keluarga, tentang apapun. Jadi, waktu akan terus berjalan dan saya akan ikut berjalan bersamanya. Soal menikah? Biar waktu juga yang menunjukkan jalan…

Wednesday, October 04, 2006

saya korup!

Sejak kemarin semangat saya untuk mencela orang sepertinya tak kunjung habis. Setiap kali melihat atau mendengar orang melakukan atau mengatakan sesuatu yang klise di kepala saya selalu berputar-putar bermacam cela yang membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Seperti pertemuan saya dengan seorang petinggi sebuah media besar di Jakarta yang sukses membuat saya harus berjuang keras menjaga penampilan yang meyakinkan di hadapannya. Sang petinggi ini bercerita betapa medianya harus berjuang keras menahan segala tekanan, termasuk dari pengiklan dan pemilik agar tidak mengganggu jalannya kerja keredaksian. Padahal, beberapa hari sebelumnya, saya mendapat bocoran tentang modus operandi media yang bersangkutan bila akan menurunkan pemberitaan negatif salah satu pengiklan atau partner bisnisnya. Sebelum berita dinaikkan, redaktur akan mengecek jenis kerjasama apa saja yang dimiliki media tersebut dengan subjek pemberitaan dan berapa besarnya. Bila signifikan, maka berita tersebut akan turun kelas menjadi newsbrief sepanjang satu atau dua paragraf saja. Maka, ketika di pertemuan lalu sang petinggi menceritakan upaya heroiknya untuk menjaga independensi berita, kalimat yang terlintas di kepala saya,”Ah, Bapak ngorong!” (baca: ah, Bapak ngarang!). Alhasil, saya cukup yakin salah satu alasan sang petinggi tersebut beberapa kali memandang ke arah saya adalah sebagai penekanan akan ucapannya karena ia ragu saat membaca reaksi saya. Mungkin dia melihat pergulatan saya untuk menjaga mimik serius padahal dalam hati ingin tertawa sekeras-kerasnya.

Contoh lain adalah saat bertemu kawan-kawan di sekretariat pasca. Saya yang datang terlambat padahal sudah dua kali bolos rapat, kebingungan saat mengikuti jalannya rapat. Berkali-kali bapak ketua panitia yang terhormat menekankan pentingya berpikir teknis dan tidak lagi bermain asumsi dan wacana. Tapi sampai rapat berakhir, saya betul-betul tidak tahu apa yang harus saya kerjakan hingga jadwal pertemuan berikutnya. Tidak ada penganggaran waktu yang tegas, tidak ada penganggaran dana yang tegas, tidak ada prioritas, tidak ada agenda jelas, dsb., dsb. Setiap kali saya tanyakan hal-hal yang sifatnya teknis, selalu saja mentah kembali. Bahkan, bapak ketua yang terhormat menghabiskan banyak waktu untuk berdebat yang tidak perlu dengan sekretarisnya, sementara yang lain harus menyaksikan perdebatan yang tidak penting itu. Betul-betul buang waktu. Maka, di perjalanan pulang saya sedikit menyesal sore ini menyempatkan datang rapat, tapi juga bersyukur karena sudah bolos dua rapat sebelumnya. Terbayang, betapa memuakkan harus membahas hal yang sama berulang-ulang. Pola pikir yang sangat birokratis, keren dan glamour tapi tidak jelas titik aplikasinya betul-betul menguras emosi sekaligus mengukur ambang kesabaran. Apalagi, yang saya tangkap, ada gejala ingin tampil sebagai yang paling bisa, paling hebat dan banyak paling lainnya, yang sebenarnya tidak diikuti dengan pembuktian di tingkat eksekusi. Ah, ternyata, kawan-kawan seangkatan saya pun sudah bermental korup. Hingga akhirnya membuat saya bertanya-tanya sendiri, jangan-jangan saya pun sudah korup!